Seorang anak kadangkala harus menerima perubahan besar yang tak dikehendakinya, tak direncanakannya dan tak ingin dipilihnya. Bocah bernama Dre mengalaminya. Di usia dini ia sudah harus hidup dalam keadaan tak lengkap, tanpa ayah, hanya berdua dengan ibunya dan demi penghasilan yang lebih baik dan tentu saja untuk masa depan putranya sang ibu memutuskan bekerja di Beijing, meninggalkan Detroit habitat mereka selama ini. Dre harus melepas impian Amerikanya dan menelateni jagad lain yang tak pernah dibayangkannya, yang sama sekali berbeda dengan kultur yang dihayatinya.
Sherry, ibu Dre, seorang wanita pekerja yang menarik. Kecerewetannya terasa lebih melegakan ketimbang kita melihat keluhan dan tangisan. Yang paling menarik, entah karena memang dirancangnya, entah karena butuh ruang sendiri untuk adaptasi, Sherry melepas anaknya berinteraksi – dan berbenturan – langsung dengan lingkungan barunya tanpa harus selalu dikawal. Padahal ini Beijng, bukan Philadelphia. Atau justru karena Beijing?
Yang pasti dari keputusannya inilah Dre kemudian bersentuhan dengan Meiying yang didamba orangtuanya menjadi violis sekaligus berseteru dengan Cheng yang lagi senang-senangnya jadi jagoan dan punya kelompok yang menghormatinya.
Dre rupanya masuk ke sekolah yang sama dengan Meiying dan Cheng. Meiying dengan hangat mengajarinya menggunakan sumpit, sebaliknya Cheng menakutkannya. Semakin Dre yang mungil dan sendirian ini tertekan, Cheng yang dominan bersama kelompoknya makin usil.
Satu perguruan kungfu yang dilihat Dre saat berjalan-jalan bersama ibunya menumbuhkan harapannya. Ia ingin belajar kungfu agar tidak takut menghadapi Cheng, tapi boleh juga disimak sebagai tekad seorang anak untuk membekali diri agar tidak takut menghadapi perubahan dan lebih percaya diri melakoni bab baru di tempat yang baru.
Tapi semangat Dre anjlok sampai titik nol begitu dilihatnya Cheng berlatih di barisan senior. Mereka berseragam hitam, semua terlihat kokoh dan memegang prinsip secara kaku. Gurunya sangar. Cheng sendiri meliriknya dengan tatapan dan gerakan yang keji. “No weakness, no pain! No mercy!” Bersama-sama mereka meneriakkannya.
Pecah tangis Dre. “I am not happy!” teriak Dre pada ibunya. “I hate it here! I wanna go home!”
“This is home,” tangkis ibunya. Dan Dre meninggalkannya tanpa menyeka airmatanya.
Karena punya bakat sembrono dan dasar anak Amerika Dre bukannya mengalah tapi berulah menyulut kebencian Cheng. Akibatnya ia dikeroyok setelah melewati kejar-kejaran di lorong-lorong kampung yang mengingatkan film Project A – yang juga dibintangi Jackie Chan (1983). Dalam keadaan terjepit dan kepayahan akibat dijotos dari sana-sini Dre beruntung ditolong Han, laki-laki lesu penyendiri yang dikenal sebagai tukang.
Film The Karate Kid versi 2010 ini adalah hiburan yang penting. Terkait soal ini ada baiknya dikutip ulasan Seno Gumira Ajidarma mengenai Batman yang dimuat di majalah Jakarta Jakarta tapi maaf lupa tanggal edisinya: “Ketika Danny DeVito memerankan Penguin (Batman Returns, 1992, Tim Burton) kita tidak melihat sekadar jiwa yang jahat, melainkan betapa lahirnya kejahatan itu sebetulnya merupakan hasil dari salah urus kemanusiaan juga – tentang jiwa yang menderita tanpa kasih sayang, jiwa yang terluka karena selalu dihina, melahirkan para penjahat jenius yang penuh dendam terhadap peradaban.”
Bagi Seno kisah fantasi Batman bisa dilihat sebagai hiburan semata tapi juga memberikan lahan galian sebagai babad yang kompleksitasnya menandingi manusia-manusia dalam lakon Shakespeare.
Ya, kita tahu Jaden Smith (Dre) yang didampingi Jackie Chan (Han) bakal menumbangkan Cheng dalam kontes duel. Tapi usaha keras Dre mempelajari kungfu secara murni sama saja dengan membongkar kemapanannya selama ini: keakuannya, kesembronoannya, keamerikaannya. Dalam proses ini si anak akan tiba pada pengertian yang lengkap pada saat orang-orang dewasa di sekelilingnyapun berani jujur pada diri sendiri. Han bukanlah pendekar yang tirakat melainkan seorang ayah penuh luka batin dan membiarkan diri disiksa penyesalan. Keduanya melihat orang lain dan diri sendiri lebih bening, di situlah kekuatan mereka, itulah yang tidak dimiliki kelompok Cheng dan suhu Master Li yang begitu sibuk menegas-negaskan kedigdayaan.
Film ini tidak saja memberikan ruang bagi Jackie Chan untuk tidak tampil cengengas-cengenges tapi memamerkan keaktoran yang mumpuni, tidak sekedar memuaskan keinginan kita menyaksikan seorang anak mencapai kemenangan, tapi mendeskripsikan bagaimana pencapaian itu diraih. Dan yang lebih penting lagi – bahkan ini di luar kendali Han maupun Master Li – Dre dan Cheng akhirnya membawa kita bersama-sama merayakan jiwa merdeka anak-anak!
*) Judul catatan ini adalah kata-kata petinju legendaris Jack Dempsey
Tidak ada komentar:
Posting Komentar