Sabtu, 21 April 2012

KISAH ORANG-ORANG TAKUT DOSA


Di suatu hari yang gerah. Duabelas laki-laki ditempatkan di satu ruangan terkunci. Mereka dimungkinkan meninggalkan tempat itu secepatnya, masing-masing bisa pulang, tidur di sofa di sisi kipas angin atau berendam air dingin di bathtub. Mereka hanya tinggal bersepakat, satu suara, bahwa pemuda 18 tahun yang menunggu di ruangan lain bersalah atas kematian ayahnya dan harus menebusnya dengan didudukkan di kursi listrik.  

Tidak butuh waktu lama untuk melakukannya. Begitu masuk ke ruang juri mereka tidak segera membahasnya karena semua bukti dan saksi sudah secara terang-benderang menunjuk si pemuda dari kalangan minoritas itu sebagai pembunuh. Seorang juri langsung baca koran, seorang lainnya berceloteh macam-macam karena terlanjur bosan mengikuti prosesi persidangan yang panjang. Ada yang menawar-nawarkan tiket pertandingan Yanks versus Cleveland, ada yang tak kunjung keluar dari toilet.

Para lelaki terhormat ini tak beda dengan anggota parlemen atau kabinet. Mereka mengabdikan diri untuk bangsa, tiap keputusan dan produk yang dihasilkan adalah sumbangsih terbaik untuk tatanan dan masa depan masyarakatnya. Si Terdakwa tidak boleh dibiarkan eksis karena kehadirannya mengancam dan membahayakan warga. Menyepakati dia bersalah berarti membinasakannya, syukur-syukur menimbulkan efek jera yang menumpas keinginan jahat sebelum kejahatan itu terwujud.

Persoalannya, pengabdian yang mestinya tulus itu juga dibarengi angka-angka pasal dan nominal yang rentan jadi beban. Di negeri kita jamak terbaca anggota parlemen lebih tampil sebagai businessman timbang wakil rakyat, sehingga kita kerap disuguhi produk-produk “pabrikan”. Saya sendiri pernah diundang mengikuti sosialisasi rancangan satu undang-undang, tapi tampaknya tak ada gunanya memberi sumbang-saran karena beliau-beliau memang sudah tidak berminat mendengarkan dan tak ingin mengubah apapun di bundel kertasnya.

Sekelompok gentleman di ruang juri itu pun lebih siap memamah begitu saja semua bukti dan kesaksian. Selebihnya mengikuti arus, memformalkan kesimpulan bersama, kemudian selesai. Pulang. Bebas. Mandi.    

Tapi salah seorang di antara mereka tidak mengangkat tangan saat opsi “guilty” diucapkan. Dia tidak yakin si pemuda bersih, innocent, tapi meragukan data yang melatari kesimpulan juri dan takut mereka membuat keputusan keliru. “Kita akan memastikan hidup-mati seseorang,” tegasnya. “Kita tidak bisa melakukannya dalam lima menit.”  

Maka dimulailah drama di satu ruangan yang mengupas lapisan demi lapisan kemanusiaan keduabelas juri. Satu sama lain saling gesek, tapi masing-masing utamanya menghadapi pertempuran di dalam diri sendiri. 12 Angry Men (1957) karya mendiang Sidney Lumet dibuka dengan shot pilar-pilar gagah gedung pengadilan dan mencurahkan hampir seluruh waktunya untuk mendeskripsikan kompleksnya membangun jatidiri yang kukuh.

Si Juri yang mbalelo bekerja sebagai arsitek. Seorang pria mapan tapi menikmati gelisahnya. Mengabdi di gedung pengadilan tak cukup hanya datang dengan stelan jas dan dasi, untuk terpaku di ruang sidang dan mimbar rapat. Di hadapan rekan-rekan juri ia mengungkap sejumlah fakta yang ditemukannya dalam observasi lapangan yang dilakukannya secara independen demi melihat kasus itu lebih bening. Kesaksian dan bukti yang telah dipaparkan dengan begitu meyakinkan tetap harus digali. Dan ia keukeh menjaga pilihan “not guilty” agar argumentasinya pun diuji. Dengan begitu ia berhasil membuat mereka bertahan di ruangan untuk membicarakan nasib sesama secara bermartabat.

Sidney Lumet berusia 33 tahun saat mengerjakan 12 Angry Men dan di film perdananya ini ia menegaskan ciri seorang kreator sejati: humanitarian. Courtroom drama yang tidak berlangsung di ruang sidang ini (kita hanya sekali menatap wajah si terdakwa) membuktikan ucapan kritikus Roger Ebert: “A movie can help us make small steps against our imperfections.” Tiap shot diperhitungkan, berhati dan bermakna. Ini menjadikannya sinema, meskipun pilihan cara tuturnya mendekati pentas panggung yang direkam.

Misal ini. Juri yang di awal film tidak keluar-keluar dari toilet adalah seseorang yang paling sepuh di antara mereka. Bahwa ia begitu lama di sana tentu sudah mengandung arti. Saat voting pertama kali dilakukan dan mayoritas menganggap terdakwa bersalah ia mengangkat tangan dengan ragu. Beberapa saat kemudian voting harus diulang, kali ini tertutup, ternyata ada dua suara “not guilty”. Dan Si Pak Tua dengan hati enteng mengakui itulah pilihannya, menemani pendapat si arsitek.  

Setelah menemukan sikap dasarnya juri sepuh ini tidak pernah lepas dari close up, full-frame. Secara teknis close up-nya adalah strategi penyuntingan Lumet dalam menata tensi, namun lebih jauh lagi dengan itu kita menjumpai seseorang yang sedemikian bahagia mengambil langkah berintegritas di sisa-sisa hidupnya. 

Pada akhirnya 12 Angry Men menjadi relevan untuk tiap jaman karena lekat dengan konklusi Thomas More: Dalam masalah hati nurani setiap orang hanya bertanggung jawab kepada Allah; dalam penghakiman akhir tidak seorangpun dapat menggantikan atau mengambil-alih tanggung jawab orang lain.

Di akhir film hujan turun …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar