Di suatu hari yang gerah. Duabelas
laki-laki ditempatkan di satu ruangan terkunci. Mereka dimungkinkan
meninggalkan tempat itu secepatnya, masing-masing bisa pulang, tidur di sofa
di sisi kipas angin atau berendam air dingin di bathtub. Mereka hanya tinggal
bersepakat, satu suara, bahwa pemuda 18 tahun yang menunggu di ruangan lain
bersalah atas kematian ayahnya dan harus menebusnya dengan didudukkan di kursi
listrik.
Tidak butuh waktu lama untuk melakukannya.
Begitu masuk ke ruang juri mereka tidak segera membahasnya karena semua bukti
dan saksi sudah secara terang-benderang menunjuk si pemuda dari kalangan
minoritas itu sebagai pembunuh. Seorang
juri langsung baca
koran, seorang lainnya berceloteh macam-macam karena terlanjur bosan mengikuti
prosesi persidangan yang panjang. Ada yang menawar-nawarkan tiket
pertandingan Yanks versus Cleveland, ada yang tak kunjung keluar dari toilet.
Para lelaki terhormat ini tak beda
dengan anggota parlemen atau kabinet. Mereka mengabdikan diri untuk bangsa,
tiap keputusan dan produk yang dihasilkan adalah sumbangsih terbaik untuk
tatanan dan masa depan masyarakatnya. Si Terdakwa tidak boleh dibiarkan eksis
karena kehadirannya mengancam dan membahayakan warga. Menyepakati dia bersalah
berarti membinasakannya, syukur-syukur menimbulkan efek jera yang menumpas keinginan jahat sebelum kejahatan itu terwujud.
Persoalannya, pengabdian yang mestinya
tulus itu juga dibarengi angka-angka pasal dan nominal yang rentan jadi beban.
Di negeri kita jamak terbaca anggota parlemen lebih tampil sebagai businessman timbang wakil rakyat, sehingga kita kerap disuguhi produk-produk “pabrikan”. Saya sendiri pernah diundang mengikuti sosialisasi
rancangan satu undang-undang, tapi tampaknya tak ada
gunanya memberi sumbang-saran karena beliau-beliau memang sudah tidak berminat mendengarkan dan tak ingin mengubah apapun di bundel
kertasnya.
Sekelompok gentleman di ruang juri itu pun lebih siap
memamah begitu saja semua bukti dan kesaksian. Selebihnya mengikuti arus, memformalkan
kesimpulan bersama, kemudian selesai. Pulang. Bebas. Mandi.
Tapi salah seorang di antara mereka
tidak mengangkat tangan saat opsi “guilty” diucapkan. Dia tidak yakin si pemuda
bersih, innocent, tapi meragukan data yang melatari
kesimpulan juri dan takut mereka membuat keputusan keliru. “Kita akan
memastikan hidup-mati seseorang,” tegasnya. “Kita tidak bisa melakukannya dalam
lima menit.”
Maka dimulailah drama di satu ruangan
yang mengupas lapisan demi lapisan kemanusiaan keduabelas juri. Satu sama lain
saling gesek, tapi masing-masing utamanya menghadapi pertempuran di dalam diri
sendiri. 12 Angry Men (1957) karya mendiang Sidney Lumet
dibuka dengan shot pilar-pilar gagah gedung pengadilan dan mencurahkan hampir seluruh waktunya untuk mendeskripsikan kompleksnya
membangun jatidiri yang kukuh.
Si Juri yang mbalelo bekerja sebagai arsitek. Seorang pria
mapan tapi menikmati gelisahnya. Mengabdi di gedung pengadilan tak
cukup hanya datang dengan stelan jas dan dasi, untuk
terpaku di ruang sidang dan mimbar rapat. Di hadapan rekan-rekan juri ia mengungkap sejumlah
fakta yang ditemukannya dalam observasi lapangan yang dilakukannya secara
independen demi melihat kasus itu lebih bening. Kesaksian dan bukti yang telah
dipaparkan dengan begitu meyakinkan tetap harus digali. Dan ia keukeh menjaga
pilihan “not guilty” agar argumentasinya pun diuji. Dengan begitu ia berhasil
membuat mereka bertahan di ruangan untuk membicarakan nasib sesama secara
bermartabat.
Sidney Lumet berusia 33 tahun saat
mengerjakan 12 Angry Men dan di film perdananya ini ia
menegaskan ciri seorang kreator sejati: humanitarian. Courtroom drama yang tidak berlangsung di ruang sidang
ini (kita hanya sekali menatap wajah si terdakwa) membuktikan ucapan kritikus
Roger Ebert: “A movie can help us make small steps against our imperfections.”
Tiap shot diperhitungkan, berhati dan bermakna.
Ini menjadikannya sinema, meskipun pilihan cara tuturnya mendekati pentas
panggung yang direkam.
Misal ini. Juri yang di awal film tidak
keluar-keluar dari toilet adalah seseorang yang paling sepuh di antara mereka.
Bahwa ia begitu lama di sana tentu sudah mengandung arti. Saat voting pertama
kali dilakukan dan mayoritas menganggap terdakwa bersalah ia mengangkat tangan
dengan ragu. Beberapa saat kemudian voting harus diulang, kali ini tertutup,
ternyata ada dua suara “not guilty”. Dan Si Pak Tua dengan hati enteng mengakui
itulah pilihannya, menemani pendapat si arsitek.
Setelah menemukan sikap dasarnya juri sepuh
ini tidak pernah lepas dari close up, full-frame. Secara teknis close up-nya adalah strategi penyuntingan Lumet
dalam menata tensi, namun lebih jauh lagi dengan itu kita menjumpai seseorang
yang sedemikian bahagia mengambil langkah berintegritas di sisa-sisa
hidupnya.
Pada akhirnya 12 Angry Men menjadi relevan untuk tiap jaman
karena lekat dengan konklusi Thomas More: Dalam
masalah hati nurani setiap orang hanya bertanggung jawab kepada Allah; dalam
penghakiman akhir tidak seorangpun dapat menggantikan atau mengambil-alih
tanggung jawab orang lain.
Di akhir film hujan turun …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar