Senin, 09 April 2012

Ode Orang Kalah

Orang yang punya kuasa akan ditakuti orang lain, maka hidup serasa miliknya sekalipun wilayah kekuasaannya tak lebih luas dari alun-alun. Lantas pada apa ia sendiri takut? Tuhan? Oh mereka tidak pernah benar-benar sudi “melibatkan”-Nya. Mereka menghindari yang lebih berkuasa dan melawan habis-habisan siapapun yang berupaya menguasai hidupnya dan menihilkan kekuasaan miliknya.  Matsunaga adalah tipe penguasa tengil macam itu. Tapi masalahnya musuh yang akan dilawannya tidak bisa dihadapi dengan bedil, kelicikan, dan kebengisannya; sebab musuh itu teridentifikasi bernama tuberculosis. TBC tak ubahnya pengkhianatan yang akan memantik kekalahan sempurna dan mengenaskan.

Akira Kurosawa menghadirkan Matsunaga tak lama setelah Jepang kalah perang. Drunken Angel (1948) dibikinnya dalam kungkungan kehancuran dan runtuhnya harga diri. Maka terhamparlah lingkungan yang remuk, kotor, tak terurus, serta komunitas manusia yang mengais-ngais daya untuk bisa terus memaknai hidup. Di awal film kita sudah diseret suasana nglangut: seorang pemuda gitaran di pinggir empang yang berbuih-buih penuh polutan, musiknya suntuk (“Musik orang itu mengundang nyamuk,” keluh dokter Sanada), dan pelacur-pelacur jalanan mulai putus asa. Malaikat pun butuh mabuk untuk menghadapi keadaan seampang ini ..

Dokter Sanada mestinya jadi malaikat buat Matsunaga. Tapi si dokter sendiri juga butuh si yakuza muda itu. Butuh teman bicara, butuh lawan untuk disemprot sumpah-serapahnya, butuh alkoholnya. Bahwa Matsunaga adalah tokoh gangster tak menakutkan Sanada. Yakuza tak ada apa-apanya dibanding kejatuhan bom atom! Sehingga Sanada tidak gentar memaki-maki pasiennya yang ndableg dan kemaki itu, keduanya hampir selalu saling lempar dan tarik-tarikan kerah.  Tapi tak seorangpun di antara mereka membiarkan keterikatan itu berlalu. 
 
Sanada – diperankan aktor watak Takashi Shimura – adalah representasi spirit orang Jepang yang berusaha teguh menghadapi konsekuensi pilihan dan keputusannya. Sebelum bertemu Matsunaga ia sudah menampung perempuan yang pernah jadi korban boss gangster, dan menjadikannya asisten di ruang praktek. Si Boss bisa muncul lagi sewaktu-waktu, tapi, sekali lagi, tak ada yang menakutkan Sanada. Ia akan mempertahankannya dan tak akan mengijinkannya menyerah pada nasib, apalagi jika hanya menyerahkan diri pada kekuasaan yang semu. Sanada memilih tinggal di tepian empang timbang jadi dokter berjas dan bermobil, sebab bagi bangsa yang kalah dan sedang hampa tidak ada yang lebih menggairahkan daripada masih punya rasa merdeka.

Toshiro Mifune, satu lagi aktor hebat yang dimiliki Kurosawa, menghidupi Matsunaga sebagai pemuda yang tak kokoh dan tak nyaman. Bentakan dan murkanya terasa fals, tidak lepas, sarat beban, dan ia jatuh menjadi pecundang tulen berparu-paru keropos begitu Okada, si boss gangster, benar-benar kembali. Okada menggasak uangnya, merampas kekasihnya, dan menghilangkan hak istimewanya sebagai orang penting Yakuza. Matsunaga hancur tapi menolak rebah di rumah Sanada sekalipun batuknya sudah merah.

Matsunaga sudah kalah, keinginannya untuk tidak menyerah meskipun tertatih-tatih dan tetap akan kalah membawa persentuhan dengan harapan “orang-orang biasa” yang selama ini tak lebih dari sekrup kecil dalam jejaring kekuasaannya. Seorang perempuan penjaga kedai berani merebut botol alkohol dari tangannya tapi mengajaknya pulang ke desanya yang bening dan berlimpah rasa syukur. Toh pengharapan sesederhana itu tak cukup buat Marsunaga. Matsunaga tidak sanggup menghadapi TB-nya tapi dengan sisa-sisa kekuatannya masih mungkin menundukkan Okada, sekaligus meraih kembali harga dirinya sebelum mati.         

Duel satu belati antara Matsunaga dan Okada dikerjakan Kurosawa secara intens. Matsunaga bagai mayat hidup, Okada ngeri melihatnya. Tidak karena jeri berhadapan dengan kenekadan, sebagai bandit senior dia berpengalaman menekuk berbagai wujud musuh, apalah artinya Matsunaga yang sudah terhuyung-huyung. Tapi Okada gentar karena melihat jelas wajah kematian. Kematian yang menyakitkan. Dan jiwa yang mati. Okada seolah menatap masa depannya sendiri.

Lantas apa yang terjadi pada dr. Sanada? Yang pasti film ini tidak butuh hero. Sebab hero tersimpan dalam tiap batin. Film diakhiri di pinggir empang yang gelembung-gelembung buihnya menyerupai borok bernanah. Angin bertiup senyap seperti di kuburan. Sanada ada di sana, menyelami kegagalan dan harapan orang lain, kemarahan dan keikhlasan, keputusasaan dan kegembiraan yang integral satu dengan lainnya. Lantas ia menyatu di tengah keramaian, menyanyikan lagu tentang mendaki puncak bukit bersama-sama, ia terus berjalan, melawan arus ..   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar