Sabtu, 21 April 2012

KISAH ORANG-ORANG TAKUT DOSA


Di suatu hari yang gerah. Duabelas laki-laki ditempatkan di satu ruangan terkunci. Mereka dimungkinkan meninggalkan tempat itu secepatnya, masing-masing bisa pulang, tidur di sofa di sisi kipas angin atau berendam air dingin di bathtub. Mereka hanya tinggal bersepakat, satu suara, bahwa pemuda 18 tahun yang menunggu di ruangan lain bersalah atas kematian ayahnya dan harus menebusnya dengan didudukkan di kursi listrik.  

Tidak butuh waktu lama untuk melakukannya. Begitu masuk ke ruang juri mereka tidak segera membahasnya karena semua bukti dan saksi sudah secara terang-benderang menunjuk si pemuda dari kalangan minoritas itu sebagai pembunuh. Seorang juri langsung baca koran, seorang lainnya berceloteh macam-macam karena terlanjur bosan mengikuti prosesi persidangan yang panjang. Ada yang menawar-nawarkan tiket pertandingan Yanks versus Cleveland, ada yang tak kunjung keluar dari toilet.

Para lelaki terhormat ini tak beda dengan anggota parlemen atau kabinet. Mereka mengabdikan diri untuk bangsa, tiap keputusan dan produk yang dihasilkan adalah sumbangsih terbaik untuk tatanan dan masa depan masyarakatnya. Si Terdakwa tidak boleh dibiarkan eksis karena kehadirannya mengancam dan membahayakan warga. Menyepakati dia bersalah berarti membinasakannya, syukur-syukur menimbulkan efek jera yang menumpas keinginan jahat sebelum kejahatan itu terwujud.

Persoalannya, pengabdian yang mestinya tulus itu juga dibarengi angka-angka pasal dan nominal yang rentan jadi beban. Di negeri kita jamak terbaca anggota parlemen lebih tampil sebagai businessman timbang wakil rakyat, sehingga kita kerap disuguhi produk-produk “pabrikan”. Saya sendiri pernah diundang mengikuti sosialisasi rancangan satu undang-undang, tapi tampaknya tak ada gunanya memberi sumbang-saran karena beliau-beliau memang sudah tidak berminat mendengarkan dan tak ingin mengubah apapun di bundel kertasnya.

Sekelompok gentleman di ruang juri itu pun lebih siap memamah begitu saja semua bukti dan kesaksian. Selebihnya mengikuti arus, memformalkan kesimpulan bersama, kemudian selesai. Pulang. Bebas. Mandi.    

Tapi salah seorang di antara mereka tidak mengangkat tangan saat opsi “guilty” diucapkan. Dia tidak yakin si pemuda bersih, innocent, tapi meragukan data yang melatari kesimpulan juri dan takut mereka membuat keputusan keliru. “Kita akan memastikan hidup-mati seseorang,” tegasnya. “Kita tidak bisa melakukannya dalam lima menit.”  

Maka dimulailah drama di satu ruangan yang mengupas lapisan demi lapisan kemanusiaan keduabelas juri. Satu sama lain saling gesek, tapi masing-masing utamanya menghadapi pertempuran di dalam diri sendiri. 12 Angry Men (1957) karya mendiang Sidney Lumet dibuka dengan shot pilar-pilar gagah gedung pengadilan dan mencurahkan hampir seluruh waktunya untuk mendeskripsikan kompleksnya membangun jatidiri yang kukuh.

Si Juri yang mbalelo bekerja sebagai arsitek. Seorang pria mapan tapi menikmati gelisahnya. Mengabdi di gedung pengadilan tak cukup hanya datang dengan stelan jas dan dasi, untuk terpaku di ruang sidang dan mimbar rapat. Di hadapan rekan-rekan juri ia mengungkap sejumlah fakta yang ditemukannya dalam observasi lapangan yang dilakukannya secara independen demi melihat kasus itu lebih bening. Kesaksian dan bukti yang telah dipaparkan dengan begitu meyakinkan tetap harus digali. Dan ia keukeh menjaga pilihan “not guilty” agar argumentasinya pun diuji. Dengan begitu ia berhasil membuat mereka bertahan di ruangan untuk membicarakan nasib sesama secara bermartabat.

Sidney Lumet berusia 33 tahun saat mengerjakan 12 Angry Men dan di film perdananya ini ia menegaskan ciri seorang kreator sejati: humanitarian. Courtroom drama yang tidak berlangsung di ruang sidang ini (kita hanya sekali menatap wajah si terdakwa) membuktikan ucapan kritikus Roger Ebert: “A movie can help us make small steps against our imperfections.” Tiap shot diperhitungkan, berhati dan bermakna. Ini menjadikannya sinema, meskipun pilihan cara tuturnya mendekati pentas panggung yang direkam.

Misal ini. Juri yang di awal film tidak keluar-keluar dari toilet adalah seseorang yang paling sepuh di antara mereka. Bahwa ia begitu lama di sana tentu sudah mengandung arti. Saat voting pertama kali dilakukan dan mayoritas menganggap terdakwa bersalah ia mengangkat tangan dengan ragu. Beberapa saat kemudian voting harus diulang, kali ini tertutup, ternyata ada dua suara “not guilty”. Dan Si Pak Tua dengan hati enteng mengakui itulah pilihannya, menemani pendapat si arsitek.  

Setelah menemukan sikap dasarnya juri sepuh ini tidak pernah lepas dari close up, full-frame. Secara teknis close up-nya adalah strategi penyuntingan Lumet dalam menata tensi, namun lebih jauh lagi dengan itu kita menjumpai seseorang yang sedemikian bahagia mengambil langkah berintegritas di sisa-sisa hidupnya. 

Pada akhirnya 12 Angry Men menjadi relevan untuk tiap jaman karena lekat dengan konklusi Thomas More: Dalam masalah hati nurani setiap orang hanya bertanggung jawab kepada Allah; dalam penghakiman akhir tidak seorangpun dapat menggantikan atau mengambil-alih tanggung jawab orang lain.

Di akhir film hujan turun …

Senin, 09 April 2012

Ode Orang Kalah

Orang yang punya kuasa akan ditakuti orang lain, maka hidup serasa miliknya sekalipun wilayah kekuasaannya tak lebih luas dari alun-alun. Lantas pada apa ia sendiri takut? Tuhan? Oh mereka tidak pernah benar-benar sudi “melibatkan”-Nya. Mereka menghindari yang lebih berkuasa dan melawan habis-habisan siapapun yang berupaya menguasai hidupnya dan menihilkan kekuasaan miliknya.  Matsunaga adalah tipe penguasa tengil macam itu. Tapi masalahnya musuh yang akan dilawannya tidak bisa dihadapi dengan bedil, kelicikan, dan kebengisannya; sebab musuh itu teridentifikasi bernama tuberculosis. TBC tak ubahnya pengkhianatan yang akan memantik kekalahan sempurna dan mengenaskan.

Akira Kurosawa menghadirkan Matsunaga tak lama setelah Jepang kalah perang. Drunken Angel (1948) dibikinnya dalam kungkungan kehancuran dan runtuhnya harga diri. Maka terhamparlah lingkungan yang remuk, kotor, tak terurus, serta komunitas manusia yang mengais-ngais daya untuk bisa terus memaknai hidup. Di awal film kita sudah diseret suasana nglangut: seorang pemuda gitaran di pinggir empang yang berbuih-buih penuh polutan, musiknya suntuk (“Musik orang itu mengundang nyamuk,” keluh dokter Sanada), dan pelacur-pelacur jalanan mulai putus asa. Malaikat pun butuh mabuk untuk menghadapi keadaan seampang ini ..

Dokter Sanada mestinya jadi malaikat buat Matsunaga. Tapi si dokter sendiri juga butuh si yakuza muda itu. Butuh teman bicara, butuh lawan untuk disemprot sumpah-serapahnya, butuh alkoholnya. Bahwa Matsunaga adalah tokoh gangster tak menakutkan Sanada. Yakuza tak ada apa-apanya dibanding kejatuhan bom atom! Sehingga Sanada tidak gentar memaki-maki pasiennya yang ndableg dan kemaki itu, keduanya hampir selalu saling lempar dan tarik-tarikan kerah.  Tapi tak seorangpun di antara mereka membiarkan keterikatan itu berlalu. 
 
Sanada – diperankan aktor watak Takashi Shimura – adalah representasi spirit orang Jepang yang berusaha teguh menghadapi konsekuensi pilihan dan keputusannya. Sebelum bertemu Matsunaga ia sudah menampung perempuan yang pernah jadi korban boss gangster, dan menjadikannya asisten di ruang praktek. Si Boss bisa muncul lagi sewaktu-waktu, tapi, sekali lagi, tak ada yang menakutkan Sanada. Ia akan mempertahankannya dan tak akan mengijinkannya menyerah pada nasib, apalagi jika hanya menyerahkan diri pada kekuasaan yang semu. Sanada memilih tinggal di tepian empang timbang jadi dokter berjas dan bermobil, sebab bagi bangsa yang kalah dan sedang hampa tidak ada yang lebih menggairahkan daripada masih punya rasa merdeka.

Toshiro Mifune, satu lagi aktor hebat yang dimiliki Kurosawa, menghidupi Matsunaga sebagai pemuda yang tak kokoh dan tak nyaman. Bentakan dan murkanya terasa fals, tidak lepas, sarat beban, dan ia jatuh menjadi pecundang tulen berparu-paru keropos begitu Okada, si boss gangster, benar-benar kembali. Okada menggasak uangnya, merampas kekasihnya, dan menghilangkan hak istimewanya sebagai orang penting Yakuza. Matsunaga hancur tapi menolak rebah di rumah Sanada sekalipun batuknya sudah merah.

Matsunaga sudah kalah, keinginannya untuk tidak menyerah meskipun tertatih-tatih dan tetap akan kalah membawa persentuhan dengan harapan “orang-orang biasa” yang selama ini tak lebih dari sekrup kecil dalam jejaring kekuasaannya. Seorang perempuan penjaga kedai berani merebut botol alkohol dari tangannya tapi mengajaknya pulang ke desanya yang bening dan berlimpah rasa syukur. Toh pengharapan sesederhana itu tak cukup buat Marsunaga. Matsunaga tidak sanggup menghadapi TB-nya tapi dengan sisa-sisa kekuatannya masih mungkin menundukkan Okada, sekaligus meraih kembali harga dirinya sebelum mati.         

Duel satu belati antara Matsunaga dan Okada dikerjakan Kurosawa secara intens. Matsunaga bagai mayat hidup, Okada ngeri melihatnya. Tidak karena jeri berhadapan dengan kenekadan, sebagai bandit senior dia berpengalaman menekuk berbagai wujud musuh, apalah artinya Matsunaga yang sudah terhuyung-huyung. Tapi Okada gentar karena melihat jelas wajah kematian. Kematian yang menyakitkan. Dan jiwa yang mati. Okada seolah menatap masa depannya sendiri.

Lantas apa yang terjadi pada dr. Sanada? Yang pasti film ini tidak butuh hero. Sebab hero tersimpan dalam tiap batin. Film diakhiri di pinggir empang yang gelembung-gelembung buihnya menyerupai borok bernanah. Angin bertiup senyap seperti di kuburan. Sanada ada di sana, menyelami kegagalan dan harapan orang lain, kemarahan dan keikhlasan, keputusasaan dan kegembiraan yang integral satu dengan lainnya. Lantas ia menyatu di tengah keramaian, menyanyikan lagu tentang mendaki puncak bukit bersama-sama, ia terus berjalan, melawan arus ..   

Rabu, 04 Januari 2012

She's in the Geese

Fly Away Home dibuka dengan manis. Amy duduk di sisi ibunya yang mengendarai mobil, suasananya hangat dan dekat, dilatari theme song  yang apik. Tapi tak sampai lagu rampung keadaan berubah drastis setelah sebuah truk tiba-tiba muncul dari arah berlawanan. Itulah kebersamaan terakhir mereka dan babak awal Amy bersama Thomas sang ayah yang sudah memisahkan diri. Amy harus meninggalkan Selandia Baru tempatnya selama ini tinggal dan hijrah ke Kanada.

Dari adegan-adegan awal terbaca perbedaan di antara kedua orangtuanya. Si ibu mapan, bermobil, terbiasa bicara di handphone; sedangkan ayahnya menetap di tengah perbukitan, punya kulkas bikinan sendiri berwujud meja tapi bisa terangkat secara mekanis dan saat itulah ruang di bawahnya yang berfungsi sebagai refrigerator bergerak naik, memperlihatkan susunan rak yang melingkari poros. Baru bangun tidur saja Amy sudah dikagetkan ulah Thomas yang berusaha terbang dengan glider ciptaannya. Di ruang kerjanya Thomas juga menyimpan karyanya yang lain: naga besar dari logam.   

Kehilangan orang yang paling dikasihi, disusul perubahan-perubahan besar yang tak pernah dipersiapkan sebelumnya, akan terasa begitu sulit bagi bocah 13 tahun. Naturalnya Amy mulai membutuhkan ruang privat, mulai senang bersolek dengan aneka busana, tapi rasa malu akan membuatnya menangis meraung-raung. Pada ayahnya dan Susan, pacar si ayah, ia selalu sinis.

Sikap soliter Amy menuntunnya ke aktivitas yang amat personal. Di satu hari yang murung dilihatnya buldozer milik pengembang properti yang dibenci ayahnya memapras lahan di tubuh bukit. Angsa-angsa (Canada geese) yang tinggal di sana ketakutan dan dengan sendirinya terusir. Di celah pohon yang roboh Amy menemukan beberapa butir telur angsa yang terpaksa ditinggalkan induknya. Telur-telur ini kemudian menjadi bagian dari kesendirian Amy sekaligus pintu masuk ke rangkaian petualangan yang menggemparkan.  

Thomas Alden tidak menyukai kebiasaan gusur-gusur lahan hijau demi kompleks bangunan namun tidak serta-merta tergerak memikirkan suaka bagi satwa-satwa yang jadi korban. Sebab ia sudah begitu sibuk menyempurnakan temuan-temuannya. Justru anakan-anakan angsa yang netes di laci itu yang kemudian mengeratkan hubungannya dengan putrinya dan mendorong Thomas lebih sering meninggalkan gudang kerjanya yang bernaga itu.  

Adegan bayi-bayi angsa “lahir” direkam sutradara Carroll Ballard dengan telaten dan dengan hati: kerendahan hati terhadap keagungan Pencipta. Ballard adalah sineas terhormat karena tidak pernah memikirkan trend, ketrampilannya khas Hollywood tapi dimanfaatkannya untuk membekaskan karakter pada tiap anak dan orang dewasa yang menyaksikan filmnya. Karya-karya Ballard sedikit tapi seluruhnya – seperti disebut kritikus Roger Ebert – merupakan “visionary films about man and nature”.

Dalam Black Stallion (1979) diletakkannya hati pada seekor kuda dan dengan Never Cry Wolf (1983) ia berdiri di pihak srigala-srigala yang terancam pembasmian sistemik. Sebagaimana Never Cry Wolf yang berdasar otobiografi konservasionis Farley Mowat, Ballard membuat Fly Away Home dari pengalaman William Lishman memandu migrasi angsa dengan pesawat ultralight.

Hadirnya angsa-angsa kecil itu ke bumi tanpa didampingi ibunya menandai “kelahiran kembali” Thomas dan Amy. Dan inilah petualangan besar itu: Amy dan ayahnya harus mengajari terbang dan nantinya membimbing mereka melakukan migrasi, dari Ontario, Kanada, ke North Carolina, AS! Sebab anak-anak angsa itu sudah terpisah dari komunitasnya dan tak tahu caranya migrasi untuk menyelamatkan diri dari sekapan musim dingin.  

Mengenai proses terbang jauh bersama-sama itu tidak ada gunanya ditulis di sini karena tidak akan sanggup menandingi tantangan dan kegairahan yang ditampilkan filmnya. Namun di sela-selanya ada beberapa hal yang interesan untuk direnungkan. Misalnya soal aparat. Ada aparat yang begitu setia pada textbook  sampai hendak memotong urat sayap seekor anak angsa di hadapan Amy yang jelas-jelas amat menyayangi piaraannya. Orang ini saking loyalnya malah jadi obsesif.

Tapi wajah teduh justru tampil di Niagara Air Force Base. Tentara-tentara dalam barisan melepas rombongan Amy dengan penghormatan resmi. Presenter berita tv menyampaikan substansinya, “Commanding General Olin Hatfield says he never seen such an inspirational sight.”   

Kapital selalu berusaha memanjakan tapi tidak akan berpartisipasi untuk turut menanggung akibatnya. Tapi teknologi, seni, serta hobi seperti dimiliki Thomas dan staf negara yang jernih dan ngemong sebagaimana Jenderal Hatfield bisa menjadi pegangan untuk selalu berpulang ke kesejatian dan keseimbangan.

“I wish she was here now,” Amy terkenang ibunya menjelang akhir perjalanan.

“She is,” bisik ayahnya. “She’s right next to you. She’s in the geese.”     

Minggu, 06 November 2011

The Kids aren't Allright

Orangtua yang baik akan memberikan segala hal yang terbaik untuk anak-anaknya. Tapi waktu akan membatasi keterlibatan kita, tidak selamanya kita akan menemani mereka.

Baru beberapa tahun silam Al Gore menjabarkan setumpuk fakta bahwa bumi yang kita huni sudah bukan tempat berpijak yang kokoh. Penjual nasi kucing di selatan Stasiun Lempuyangan Yogyakarta saja bisa menegaskannya, “Kapan musim hujan, kapan kemarau, sudah tidak karuan. Alamnya sudah hancur!” Dengan pondasi yang mulai labil macam itu lantas kita bisa nyangoni apa ke anak-anak?

Sinetron-sinetron konyol, guyonan-guyonan di televisi yang cuma patutnya ditertawakan pembuatnya sendiri, berita-berita kekerasan sekaligus kebuntuan yang makin hari makin terasa lumrah, serta soap opera Nazaruddin tak akan menyumbangkan gagasan adanya yang keliru dalam hidup kita. Meskipun keseharian kita begitu acak-adul kita akan sepakat saja dengan litani success story yang selalu dirilis kabinet Yudhoyono. Sehingga anak-anak itu pun akan baik-baik saja. The kids are all right.   

“Keadaan baik” menjadikan berita pembantaian sejumlah orangutan di Kalimantan Timur yang muncul akhir September 2011 tidak direspon sebagai malapetaka. Perburuan, penyiksaan dan kematiannya tidak disimak serius karena kita menolak untuk kaget bahwa kini orangutan mendapatkan cap hama. Penolakan ini nyesek, sebab kepada bangsa-bangsa di luar sana orangutan kita banggakan sebagai hak milik, nyatanya tidak pernah dirawat.

Malang betul nasibnya jika dibandingkan komodo yang saat ini diagungkan sebagai ciri keajaiban yang diwariskan di negeri ini. Atau, komodo nantinya juga akan disingkirkan?

Mendiamkan isu orangutan sebagai hama sama saja turut menyakiti dan memusnahkannya. Dari sisi ini saja kita sudah mereduksi kekayaan dan kebanggaan yang mestinya dimiliki anak-anak kita. Di sisi lain, andai benar orangutan bertransformasi sebagai pengganggu hidup manusia, bahwa mereka dibunuh dengan cara-cara penyiksaan yang begitu kreatif kejinya justru mengindikasikan adanya error dalam sikap kita. 

Apa yang sesungguhnya terjadi pada orangutan – dan pada kita orang Indonesia – dideskripsikan dengan gamblang oleh Patrick Rouxel melalui film Green. Dokumenter ini memperlihatkan bagaimana industri ciptaan manusia merampas hutan ciptaan-Nya; tapi meski Green bertutur dengan meyakinkan barangkali tidak banyak penonton yang meyakini perubahan. Sebab dengan kita menilai baik hidup kita dengan sendirinya itu menjadi bagian dari success story; jika sudah sukses, apa lagi yang harus diubah?   

Bagaimanapun Green amat layak diputar di sekolah-sekolah dan di ruang-ruang retret, apalagi pembuatnya mempersilakan diunduh gratis. Pertama, film sepanjang 48 menit itu gambar-gambarnya “menawan”, menyejukkan mata kemudian perlahan meluncur ke hati tanpa membuat penonton tersedak. Alurnya paralel tapi runut, mudah diikuti. Narasi memang tidak dibutuhkan sebab atmosfer dan landasan musiknya sudah menjadikan pemahaman kita lebih dari cukup. Menyaksikan Green sama “nyamannya” dengan mendengarkan Kitaro sambil merem.

Alasan kedua, kenapa film ini patut disaksikan anak-anak, karena sepatutnya anak-anak tidak hanya dikasih yang bagus-bagus dan indah-indah. Sebab limpahan kekayaan negeri ini sewaktu-waktu bisa menjelma tsunami dan erupsi. Pengetahuan akan membawa seorang anak jadi juara, tapi nilai sempurna dan hadiah belanja di mal tanpa dibarengi kerelaan melihat rapuhnya keadaan sekitar dan merumuskan bersama kontribusi yang bisa diberikan untuk turut memperbaikinya, justru akan menjauhkan anak dari kemandiriannya.

Misal banjir. Bencana yang satu ini bisa terjadi saat lautan tenang dan gunung lerem. Pemicunya hanya hujan. Tapi lahan hijau yang dipapras demi pusat belanja dan sungai yang dibiarkan jadi keranjang sampah mendorong air ikut-ikutan “rakus”. Sang juara bisa meraung-raung laptop dan televisi kesayangannya mendadak menyatu dalam kubangan sampah.

Green seekor orangutan betina. Kita melihatnya begitu film dimulai. Tubuhnya dibalut tas jinjing, terbaring lemah di antara kaki-kaki bersepatu karet di truk yang melesat di jalanan tanah yang gersang, dikelilingi lanskap tetumbuhan yang sama sekali tak rindang. Ia kemudian dibaringkan di tempat tidur di ruangan kantor yang bersih, diinfus, diselimuti handuk, dan berbantal Hello Kitty.  

Beberapa anak muda bergantian menjaga dan merawatnya. Digenggamnya pergelangan tangan gadis berstetoskop yang menemaninya dengan cemas. Garis-garis wajah Green labil dan lelah, terlihat seperti eyang buyut kita yang renta. Seekor cicak yang hidup natural – di balik jam dinding – mengingatkan Green pada kampungnya: hutan tropis serupa firdaus yang kini hanya indah di kalender.  

Alam yang hijau dan bening lambat-laun digantikan mesin-mesin dan pabrik yang sangar, bingar dan kaku. Tapi pembuat film ini memilih reflektif. Saat menggambarkan produk kertas sebagai salah satu simpul runtuhnya imperial orangutan, buku Thinkers of the Jungle: The Orangutan Report yang didisplay di toko buku yang berkelas dan temaram adalah bagian dari agen kehancuran itu. Sequence ini tampil dengan latar yang jazzy, terasa sebagai fase introspeksi yang lembut.

Sikap reflektif ini kiranya diambil agar Green tidak mandeg sebagai drama. Haru-biru tidak ada gunanya jika tidak mengukuhkan gagasan titik balik masing-masing penonton. Para pembuat film ini mencapai kematangannya sebagai pekerja media, bahwa kehidupan (dan perubahan) usai film lebih penting daripada film itu sendiri.

Rouxel begitu halus dan terukur saat bergerak keluar-masuk dari perkembangan Green yang batin dan raganya rusak ke keadaan aktual yang menyingkirkannya. Kita tidak merasa diceramahi tapi diajak mendengar batin sendiri.

“We are destroying this planet, we are destroying this world,” tegas Jean Kern, Board Member Global Exploration, dalam wawancara dengan Swasti Ayu dari Orca. “So we have to change the world, and young people can do it!”

“Sebelumnya saya belum punya pemikiran (menjaga keseimbangan alam), soalnya saya kan tidak tahu dan tidak ada pemberitahuan,” ucap Ghoziurfaiz siswa SMA Negeri 3 Yogyakarta usai menyaksikan Green. “Sekarang saya bisa maksimal untuk melestarikan alam, buat anak-cucu kita.”

“People in Indonesia should be proud of orangutan because they are symbol of the rainforest and they are our closest relatives,” imbuh Jean. “Also people in Indonesia should be aware that we should save the rainforest, for our future generations.”

Anak adalah titipan, maka pada basisnya mereka peka dan tulus. Karena kaum dewasa kini agak susah untuk tulus maka tidak selayaknya kita menempatkan diri sebagai yang paling tahu mengenai kebutuhan mereka. Green bisa menjadi pusaka hati anak-anak, jangan dibelokkan jadi fabel.  

Jumat, 04 November 2011

The Eyes of God are on Us Always

Judah Rosenthal seorang pria terhormat. Ia dokter spesialis mata yang sukses, diakui jasa-jasanya oleh komunitas intelektual, didampingi keluarga yang berkelas dan penuh kasih. Tapi Judah juga punya selingkuhan, seorang pramugari bernama Dolores. “Kesempurnaan” Judah mulai goyah saat Dolores menuntutnya menjadi pendampingnya secara resmi dan menceraikan istrinya. Jika keinginannya diremehkan Dolores akan mengungkap hubungan mereka selama ini pada keluarga Judah.   

Judah jelas menolak. Ia tokoh publik yang memiliki segalanya, Dolores tak lebih dari ruang belakang di sudut rumah, kecil, tertutup dan pengap. Hanya sesekali dibutuhkan dan dikunjungi.

Si Pacar tak surut, tak sudi melakukan kompromi, diperjuangkannya martabatnya. Judah kewalahan, sampai menawarkan uang ganti rugi segala. Tapi tuntutan Dolores makin kokoh, ancamannya untuk menemui langsung Nyonya Rosenthal lambat-laun masuk ke wilayah teror.

Pergulatan Judah menghadapi konsekuensi-konsukensi pilihan hidupnya merupakan drama moral yang disodorkan Woody Allen dalam Crimes and Misdemeanors. Sebuah film yang potensial menjadi klasik karena selalu relevan. Sebab tokoh-tokohnya adalah manusia-manusia yang di batinnya tersimpan tikungan yang tajam: orang-orang yang biasa kita jumpai sehari-hari tapi di balik hal-hal biasa itu terkandung jiwa yang rumit.  

Dalam peta perfilman Woody Allen meninggalkan tapak-tapak yang berciri. Ia seperti pemilik kedai kopi yang disayangi pelanggannya karena ia pendengar yang sangat antusias dan komentator yang intelek tapi penuh empati. Apa yang terungkap di sana bisa begitu pahit dan tragis, menyentuh pengkhianatan, kemunafikan, dan jatidiri yang keropos, tapi caranya merespon menjadikan penonton seolah berada di meja yang sama. Karena punya pengalaman yang sama. Dengan kecerdikan macam itu tokoh-tokoh dalam filmnya memperoleh keleluasaan untuk mengungkapkan diri, merefleksikan perasaan, pikiran-pikirannya, dan argumentasinya. Hingga seringkali muncul wacana yang getir sekaligus menggelikan.  

Sebagian besar karya Woody Allen barangkali boleh disebut esai. Menurut Ignas Kleden (Majalah Prisma no 8, 1988) kekuatan esai tidak terletak pada argumen yang dikandungnya melainkan pada lukisan pikiran dan perasaan. Esai tidak berhasrat mengajukan pemikiran yang kokoh melainkan menyajikan obrolan yang cerdas dan memikat. Esai, kata Kleden, adalah dialog, yang tidak selalu tertib dan disiplin tapi cenderung nakal, kocak, penuh surprise, dan berpedoman pada kebebasan manusia.   

Maka pertempuran batin Judah tidak rampung begitu saja dengan membungkam Dolores. Sebab hidup Judah dibangun dari ajaran-ajaran ayahnya tentang moral, dosa, dan Tuhan. Judah tidak melupakan pesan terpenting ayahnya: Tuhan melihat apapun yang manusia lakukan. Itu sebabnya Judah memberanikan diri menceritakan masalahnya pada Ben, seorang rabbi yang menjadi pasiennya karena terancam buta.   

Ben tentu saja memberikan nasihat-nasihat yang berpihak pada moralitas dan pilar-pilar normatif. Kita diberi petunjuk tapi tidak jalan keluar. Judah kini bicara pada Jack, adiknya. Jack ini personifikasi pemberontak, memberontaki ajaran sang ayah, dan hidup sebagai mafioso. Jack bilang: bunuh Dolores.    

Mafia bekerja efektif dan Jack menjamin prosesnya akan rapi. Tidak bakal ketahuan siapa pelakunya, di mana simpulnya. Konflik batin Judah makin riuh. Ia tidak pernah membayangkan pembunuhan dan menjadi bagian di dalamnya. Namun rongrongan Dolores membuatnya tidak mampu melihat kemungkinan yang lain lagi.

Singkat cerita Dolores benar-benar terbunuh. Judah didera perasaan bersalah meskipun jaminan adiknya memang terbukti. Saking tertekannya Judah sampai kepikiran untuk menyerahkan diri pada polisi. Tapi toh ia lebih memikirkan keluarga dan dirinya sendiri.

Salah satu cara yang ditempuh Judah untuk meringankan bebannya adalah dengan mengunjungi bekas rumah keluarganya. Di sana ia bisa menyaring lagi ajaran-ajaran sang ayah dan syukur-syukur menemukan perspektif lain yang tidak serta-merta memvonisnya berdosa. Di rumah itulah keluarga besarnya terbiasa makan malam bersama sembari melakukan diskusi yang mendalam dan intelek.  

Dalam adegan ini penonton melihat keluarga Judah berdebat seru di ruang makan. Judah remaja serta Jack belia ada di sana. Kemudian Judah Dewasa masuk, berdiri di ambang pintu. Disimaknya perdebatan di meja tentang filsafat Lenin, pembantaian enam juta Yahudi oleh Hitler, tentang kekuasaan, struktur moral, impuls manusia yang pada dasarnya baik, nihilis, logika, sampai soal sembahyang.

Saat diskusi makin gaduh dan secara tak langsung menyentuh persoalan yang tengah ia hadapi, Judah Dewasa tiba-tiba mengajukan pertanyaan, “Bagaimana jika ada yang melakukan pembunuhan?”

Ayahnya menjawab lugas, “Bagaimanapun dia akan dihukum!”

Tapi pamannya menangkis, “Kalau tertangkap.”

Si Ayah bertahan.

Si Paman menghardik, “Kau terlalu menekankan Kitab!”

Ayah Judah tak goyah. “Dalam Perjanjian Lama sampai Shakespeare pembunuhan selalu terbongkar!”

Nah Allen luwes saja mengintegrasikan Judah ke penggalan masa lalu yang tak lagi riil tapi kontekstual. Ia meneroboskan dan membenturkannya begitu saja. Dilepasnya Judah berkonfrontasi langsung dengan ayahnya sekaligus melihat pamannya sebagai representasi perlawanan terhadap ajaran yang terlalu bersetia pada teks.   

Apakah Woody Allen mendeskripsikan keraguannya terhadap ajaran yang dogmatis? Sebab Judah yang berpijak pada akar agama dan budaya yang kokoh toh kehilangan pondasi setelah memiliki segalanya, sampai punya selingkuhan dan akhirnya jadi pembunuh. Jack malah menjelma dengan sempurna sebagai bandit. Tapi di sisi lain, Rabbi Ben akhirnya mampu memandang segala hal dengan jernih saat matanya benar-benar buta.

Jadi mungkin substansinya, ajaran sang ayah yang kaku dan baku menjadikan Judah dan Jack tumbuh dalam ketakutan, dan gamang saat bersentuhan dengan realitas yang begitu kompleks. Sementara Rahib Ben adalah penyempurnaan dari seorang pengajar kehidupan yang mengerti kelemahannya sendiri sebagai manusia, dan dengan itu mampu menyentuh kebeningan.

Film-film Woody Allen selalu menjadi penting sebab menyerupai persinggahan yang hangat yang membuat kita tidak makin tersesat.   

Kemanggisan, Oktober 1999  

Kamis, 03 November 2011

Mississippi Burning 1964, Indonesia Burning 2011


Hatred isn’t something you born with. It gets taught.

James Chaney mestinya jadi laki-laki penakut. Pemuda 21 tahun itu warga Mississippi dan kulitnya hitam. Mississippi bangga menjadi kisah sukses pengusung segregasi. Di rumah makan tiga-perempat ruangan untuk orang kulit putih, sisanya bagi kaum lainnya. Wastafel pun terpisah dan harus beda modelnya. Negro dibiarkan hidup tapi tak punya hak yang sama. Karena cuma “numpang” mereka juga tak berhak melawan jika disakiti. Tapi karena di dalam komunitas mayoritas tidak semua sejahtera, tidak semua bahagia, mereka selalu butuh musuh untuk melepas marah. James Chaney mestinya penakut karena setiap saat bisa jadi mangsa.

Tapi James malah jadi aktivis. Memutuskan jadi pejuang kebebasan bagi kaumnya dan kelompok minoritas lainnya.  Toh ia punya teman. Pekerja sosial Michael Schwerner, 24 tahun, dan mahasiswa antroplogi Andrew Goodman, 20, datang dari New York untuk meneliti peristiwa pembakaran sebuah gereja yang digunakan sebagai tempat pertemuan para pendukung hak-hak sipil.  

Ketiga anak muda penuh daya itu kemudian hilang. Dan baru ditemukan setelah enam pekan. Terkubur di area bendungan. Ketiganya mati karena peluru. Di tubuh James ditemukan luka hebat akibat pukulan tanpa ampun. Pembantaian di Mississippi pertengahan 1964 itu dijadikan landasan film Mississippi Burning (1988) oleh Alan Parker.

Parker melakonkan kisahnya melalui sepasang agen FBI, Alan Ward dan Rupert Anderson. Ward masih muda, berkacamata, penegak hukum berlatar sekolahan, prosedural, serius, tak bisa gojek. “Kennedy boy” sindir Anderson. Sebaliknya Anderson rileks, easy go, tak formal, tapi juga brangasan, kenyang pengalaman lapangan.

Awalnya mereka hanya berdua mengunjungi Jessup County, Mississippi, untuk menelusuri laporan orang hilang – hilangnya ketiga aktivis. Tapi aparat setempat tidak mendukung upaya mereka, dan di malam pertama keduanya sudah dipameri kekerasan yang disponsori Ku Klux Klan, kelompok radikal berbasis supremasi dan kebencian. Maka Ward memanggil pasukan berjas rapi yang diplesetkan dengan sinis oleh deputi sheriff sebagai Federal Bureau of Integration.

Teror pada FBI tidak surut tapi tidak diarahkan frontal. Siapapun yang memberikan kesaksian digebuk. Makin intens tekanan yang diterimanya Ward makin yakin ia sedang menghadapi kasus besar, tidak sekedar orang hilang. Itu sebabnya pasukan FBI mengambil gedung bioskop sebagai markas. Saat pemilik motel minta FBI pergi karena mengganggu bisnisnya, Ward instuksikan pada stafnya, “Beli saja. Berapapun harganya.” Begitu mobil ketiga aktivis ditemukan di rawa-rawa Ward mendatangkan lagi seratusan taruna angkatan laut untuk menemukan jasad korban di tiap jengkal rawa.     

Langkah tegas Ward menabuh genderang perang. Kelompok radikal menyambut tantangannya dengan beringas, kekerasan dan kematian jadi pemandangan sehari-hari. Warga yang tidak terlibat memilih sikap aman, kaum minoritas yang jadi korban mengisolasi diri. “Pergilah, biarkan kami sendiri,” pinta salah seorang keluarga korban. “Dengan begitu mereka juga akan membiarkan kami.”  

Di satu adegan dokumenter yang disisipkan di tengah film terlihat seorang bocah ingusan mengikuti seremoni Ku Klux Klan lengkap dengan busana khas penegas supremasi. Tapi di sepanjang film Ward maupun Anderson tidak kunjung menemukan konklusi dari mana kebencian berasal hingga membinasakan orang lain dirasa legal. Keduanya kerap berseteru bukan semata karena perbedaan cara kerja tapi juga disebabkan kebuntuan menyelami komunitas masyarakat yang begitu solid menjaga kungkungan yang mereka ciptakan. Kantor polisi akhirnya menyerupai pagar kokoh yang melindungi arena pengeroyokan, pengusaha berdiri di sisi yang sama sejauh ia sendiri terlindung, birokrat ikut tepuk tangan sambil tutup mata, dan pengadilan hanya sandiwara boneka.

“Mereka brutal karena dipengaruhi pihak lain!” argumen hakim yang tak berani menjatuhkan vonis. Si Hakim kiranya berada di baris nada yang sama dengan pernyataan seorang tokoh dalam dialog MetroTV Senin petang 7 Februari 2011 menanggapi tewasnya tiga warga Ahmadiyah, “Ya begitulah yang disebut amuk massa.” Ada korban terbunuh tapi – menurutnya – tak ada kejahatan.

Ward mulai meninggalkan teks manualnya setelah istri salah satu pelaku pembunuhan ketiga aktivis dihajar sendiri oleh si suami karena membocorkan tempat penguburan korban. Yang berani menyuarakan kebenaran dan nyempal dari kebersamaan akan menuai akibatnya. Wanita itu kritis. Tidak ada kerabat yang menungguinya di rumah sakit. Akhirnya Ward (Willem Dafoe) memberikan keleluasaan pada Anderson yang lebih berpengalaman dan lebih “kreatif” untuk menjaring seluruh pelaku.

Tentu tidak semua langkah Anderson (Gene Hackman) disetujui Ward yang akademis dan normatif, tapi menarik mengikuti bagaimana Anderson memecah-belah kelompok inti komunitas pembenci itu untuk menjaring bukti dan saksi. Yang pasti pembantaian ketiga aktivis itu dirancang dan diwujudkan berbagai lapisan secara kolektif. Dari Clayton Townley yang pengusaha, Clinton Pell si deputi sheriff, hingga Frank Bailey yang tukang las dan Lester Cowens yang tukang jahit.

Walikota yang selama ini menaungi mereka memilih gantung diri. “Why he did do it? He wasn’t even in on it,” seorang personel FBI tak memahami keputusan sang pamong. “He wasn’t even the Klan.”

“Anyone’s guilty who watches this happen and pretend it isn’t,” simpul Ward. “He was guilty. Maybe we all are.”

Akhir kata jika untuk anak-anak muda Indonesia televisi kita terlalu sibuk dengan acara nyanyi-nyanyi diikuti gerakan-gerakan simetris audiens serta lawakan-lawakan tak lucu kiranya film ini suatu saat bisa menjadi salah satu koleksi perpustakaan sekolah-sekolah menengah, sebagai penyeimbang pelajaran sejarah dan referensi apresiasi terhadap sesama. 

Adam Herdanto

Rabu, 02 November 2011

Life on the Street, Hope on TV

Detektif Frank Pembleton diminta istrinya turut mengikuti misa yang akan dipersembahkan oleh Paus. Menjelang kedatangan Paus ke Amerika Pembleton harus menangani kasus yang tak rumit-rumit amat tapi membuatnya goyah.

Seorang anak ditembak hingga koma.   Pelakunya juga masih bocah, seorang remaja tanggung. Si korban tidak pernah sadarkan diri, secara medis ia sudah pergi untuk selamanya. Tapi orangtuanya tak mau melepaskannya. Sang Ibu bersikeras dia belum mati dan yakin pada saatnya nanti akan bangun.     

Toh mereka harus menghadapi kenyataan. Mesin pemacu di sisi tempat tidur dimatikan, kabel yang menjerat tubuh dan jiwa anak itu dicabut. Jantung si anak diterbangkan helikopter ke Rumah Sakit Chicago Hope karena seorang anak lainnya membutuhkannya. Jantung bocah korban penembakan itu segera ditransplantasikan kepadanya.

Paus tiba. Umat berbondong-bondong menghadiri misa. Saat yang sama Pembleton justru ragu.  

Seorang remaja petentang-petenteng memamer-mamerkan pistol. Peluru tiba-tiba melesat, bersarang di tubuh anak lain. Proses koma yang panjang terasa begitu gamang ketika harapan akhirnya tidak berpihak pada keselamatan korban tak berdosa. Orangtuanya limbung. Semua yang menyaksikan rangkaian peristiwa itu – termasuk Pembleton – tidak tahu lagi di mana harus menempatkan diri. Memang di bab penutup hidupnya anak itu masih bermakna bagi orang lain, jantungnya menghidupkan harapan sesamanya, namun makna di balik semua itu sungguh susah dirumuskan.   

Kisah di atas intisari salah satu episode serial tv Homicide: Life on the Street yang ditayangkan SCTV sekitar tahun 1996-1998. Sebagai detektif unit pembunuhan di Kepolisian Baltimore tiap saat Pembleton menyaksikan pahitnya hidup sesamanya. Saban hari ada saja masalah bunuh-bunuhan. Orang-orang menjelma elmaut bagi orang lain. Darah dan tangis seolah tak pernah rehat menetes.

Saking ampangnya mengurus masalah-masalah pembunuhan sampai pernah Pembleton terseret perdebatan “lucu” dengan Tim Bayliss partnernya. Saat itu keduanya harus memberi kabar pada keluarga korban, dan sudah berjalan menuju pintu.

“Kamu ya yang ngomong.”

“Kok aku?”

“Aku kan lebih lama jadi polisi. Kalau setiap hari setidaknya aku harus kasih kabar lima keluarga korban pembunuhan, sudah berapa ribu kali aku melakukannya? Justru kamu yang harus nambah pengalaman.”

“Lho dalam hal begini mereka justru butuh orang berpengalaman. Aku nanti belajar dari caramu.”

Mereka terus berdebat, padahal sudah tinggal ketuk.   

Peristiwa-peristiwa kematian akibat kekerasan yang berskala harian itu pada akhirnya tidak sekedar menantang profesionalitas Pembleton sebagai penegak hukum, tapi juga imannya.

Serial Chicago Hope juga pernah menyodorkan wacana semacam itu pada penontonnya. Seorang penderita parkinson lumpuh hampir di seluruh tubuhnya tapi keinginannya yang amat tinggi untuk sembuh mendorongnya secara intensif memantau kemajuan ilmu kedokteran. Salah satu hasil yang ia peroleh adalah metode cangkok janin ke tubuh penderita.

Si pasien – dan istrinya – rupanya sudah siap untuk melakukannya. Si janin sudah menunggu di kandungan sang istri. 

Saya tidak ingat bagaimana si istri hamil, yang pasti dewan doker RS. Chicago Hope mengakui keabsahan metode itu tapi tidak serta-merta melihatnya sebagai “job”. Masing-masing dokter terlibat perang argumentasi yang dahsyat, tenggelam dalam konflik personal yang rumit. Sebagian menolak menyembuhkan dengan membunuh, sebagian lainnya berdiri di kelompok yang mensyukuri kemajuan kedokteran modern: apa artinya penemuan penting dalam keilmuan jika tidak diaplikasikan?   

Dokter Philip Watters misalnya, kepala staf Chicago Hope itu tegas-tegas mendesakkan penolakannya. Alasannya? Prinsip. Karena ia Katolik. Dan Katolik melarang aborsi, melarang hak hidup si janin distop, apapun argumentasi dan kebutuhannya.

Si Istri yang mengandung berterima kasih pada Suster Kepala yang selalu mendampingi dan melayaninya. Tapi pada saat mengantarkannya ke ruang operasi Si Suster menghentikan langkah di depan pintu, “Maaf saya hanya sampai di sini. Saya tidak mendukung kegiatan yang akan dilakukan di dalam sana.”

Operasi dilaksanakan. Dipimpin dua dokter senior Jeffrey Geiger dan Aaron Shutt yang sudah diakui integritasnya. Angan-angan si pasien terwujud, harapan kini didekapnya. Tapi suasana Chicago Hope terasa tawar.

Hidup kita menghadapi tantangan moral dan etik yang makin pelik. Dunia kian maju tapi semrawut dan resah. Kita berada di planet yang sama dengan orang-orang di Baltimore maupun Chicago, tapi di layar televisi kita kini tidak ada lagi tokoh seperti Pembleton dan Geiger yang mewakili kegelisahan dan keputusan kita.  

Tapi sudahlah, bagaimanapun televisi mesti disyukuri, seperti komedian Groucho Marx bilang, “I must say I find television very educational. The minute somebody turns it on, I go to the library and read a good book.”