Rabu, 02 November 2011

Life on the Street, Hope on TV

Detektif Frank Pembleton diminta istrinya turut mengikuti misa yang akan dipersembahkan oleh Paus. Menjelang kedatangan Paus ke Amerika Pembleton harus menangani kasus yang tak rumit-rumit amat tapi membuatnya goyah.

Seorang anak ditembak hingga koma.   Pelakunya juga masih bocah, seorang remaja tanggung. Si korban tidak pernah sadarkan diri, secara medis ia sudah pergi untuk selamanya. Tapi orangtuanya tak mau melepaskannya. Sang Ibu bersikeras dia belum mati dan yakin pada saatnya nanti akan bangun.     

Toh mereka harus menghadapi kenyataan. Mesin pemacu di sisi tempat tidur dimatikan, kabel yang menjerat tubuh dan jiwa anak itu dicabut. Jantung si anak diterbangkan helikopter ke Rumah Sakit Chicago Hope karena seorang anak lainnya membutuhkannya. Jantung bocah korban penembakan itu segera ditransplantasikan kepadanya.

Paus tiba. Umat berbondong-bondong menghadiri misa. Saat yang sama Pembleton justru ragu.  

Seorang remaja petentang-petenteng memamer-mamerkan pistol. Peluru tiba-tiba melesat, bersarang di tubuh anak lain. Proses koma yang panjang terasa begitu gamang ketika harapan akhirnya tidak berpihak pada keselamatan korban tak berdosa. Orangtuanya limbung. Semua yang menyaksikan rangkaian peristiwa itu – termasuk Pembleton – tidak tahu lagi di mana harus menempatkan diri. Memang di bab penutup hidupnya anak itu masih bermakna bagi orang lain, jantungnya menghidupkan harapan sesamanya, namun makna di balik semua itu sungguh susah dirumuskan.   

Kisah di atas intisari salah satu episode serial tv Homicide: Life on the Street yang ditayangkan SCTV sekitar tahun 1996-1998. Sebagai detektif unit pembunuhan di Kepolisian Baltimore tiap saat Pembleton menyaksikan pahitnya hidup sesamanya. Saban hari ada saja masalah bunuh-bunuhan. Orang-orang menjelma elmaut bagi orang lain. Darah dan tangis seolah tak pernah rehat menetes.

Saking ampangnya mengurus masalah-masalah pembunuhan sampai pernah Pembleton terseret perdebatan “lucu” dengan Tim Bayliss partnernya. Saat itu keduanya harus memberi kabar pada keluarga korban, dan sudah berjalan menuju pintu.

“Kamu ya yang ngomong.”

“Kok aku?”

“Aku kan lebih lama jadi polisi. Kalau setiap hari setidaknya aku harus kasih kabar lima keluarga korban pembunuhan, sudah berapa ribu kali aku melakukannya? Justru kamu yang harus nambah pengalaman.”

“Lho dalam hal begini mereka justru butuh orang berpengalaman. Aku nanti belajar dari caramu.”

Mereka terus berdebat, padahal sudah tinggal ketuk.   

Peristiwa-peristiwa kematian akibat kekerasan yang berskala harian itu pada akhirnya tidak sekedar menantang profesionalitas Pembleton sebagai penegak hukum, tapi juga imannya.

Serial Chicago Hope juga pernah menyodorkan wacana semacam itu pada penontonnya. Seorang penderita parkinson lumpuh hampir di seluruh tubuhnya tapi keinginannya yang amat tinggi untuk sembuh mendorongnya secara intensif memantau kemajuan ilmu kedokteran. Salah satu hasil yang ia peroleh adalah metode cangkok janin ke tubuh penderita.

Si pasien – dan istrinya – rupanya sudah siap untuk melakukannya. Si janin sudah menunggu di kandungan sang istri. 

Saya tidak ingat bagaimana si istri hamil, yang pasti dewan doker RS. Chicago Hope mengakui keabsahan metode itu tapi tidak serta-merta melihatnya sebagai “job”. Masing-masing dokter terlibat perang argumentasi yang dahsyat, tenggelam dalam konflik personal yang rumit. Sebagian menolak menyembuhkan dengan membunuh, sebagian lainnya berdiri di kelompok yang mensyukuri kemajuan kedokteran modern: apa artinya penemuan penting dalam keilmuan jika tidak diaplikasikan?   

Dokter Philip Watters misalnya, kepala staf Chicago Hope itu tegas-tegas mendesakkan penolakannya. Alasannya? Prinsip. Karena ia Katolik. Dan Katolik melarang aborsi, melarang hak hidup si janin distop, apapun argumentasi dan kebutuhannya.

Si Istri yang mengandung berterima kasih pada Suster Kepala yang selalu mendampingi dan melayaninya. Tapi pada saat mengantarkannya ke ruang operasi Si Suster menghentikan langkah di depan pintu, “Maaf saya hanya sampai di sini. Saya tidak mendukung kegiatan yang akan dilakukan di dalam sana.”

Operasi dilaksanakan. Dipimpin dua dokter senior Jeffrey Geiger dan Aaron Shutt yang sudah diakui integritasnya. Angan-angan si pasien terwujud, harapan kini didekapnya. Tapi suasana Chicago Hope terasa tawar.

Hidup kita menghadapi tantangan moral dan etik yang makin pelik. Dunia kian maju tapi semrawut dan resah. Kita berada di planet yang sama dengan orang-orang di Baltimore maupun Chicago, tapi di layar televisi kita kini tidak ada lagi tokoh seperti Pembleton dan Geiger yang mewakili kegelisahan dan keputusan kita.  

Tapi sudahlah, bagaimanapun televisi mesti disyukuri, seperti komedian Groucho Marx bilang, “I must say I find television very educational. The minute somebody turns it on, I go to the library and read a good book.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar