Judah Rosenthal seorang pria terhormat. Ia dokter spesialis mata yang sukses, diakui jasa-jasanya oleh komunitas intelektual, didampingi keluarga yang berkelas dan penuh kasih. Tapi Judah juga punya selingkuhan, seorang pramugari bernama Dolores. “Kesempurnaan” Judah mulai goyah saat Dolores menuntutnya menjadi pendampingnya secara resmi dan menceraikan istrinya. Jika keinginannya diremehkan Dolores akan mengungkap hubungan mereka selama ini pada keluarga Judah.
Judah jelas menolak. Ia tokoh publik yang memiliki segalanya, Dolores tak lebih dari ruang belakang di sudut rumah, kecil, tertutup dan pengap. Hanya sesekali dibutuhkan dan dikunjungi.
Si Pacar tak surut, tak sudi melakukan kompromi, diperjuangkannya martabatnya. Judah kewalahan, sampai menawarkan uang ganti rugi segala. Tapi tuntutan Dolores makin kokoh, ancamannya untuk menemui langsung Nyonya Rosenthal lambat-laun masuk ke wilayah teror.
Pergulatan Judah menghadapi konsekuensi-konsukensi pilihan hidupnya merupakan drama moral yang disodorkan Woody Allen dalam Crimes and Misdemeanors. Sebuah film yang potensial menjadi klasik karena selalu relevan. Sebab tokoh-tokohnya adalah manusia-manusia yang di batinnya tersimpan tikungan yang tajam: orang-orang yang biasa kita jumpai sehari-hari tapi di balik hal-hal biasa itu terkandung jiwa yang rumit.
Dalam peta perfilman Woody Allen meninggalkan tapak-tapak yang berciri. Ia seperti pemilik kedai kopi yang disayangi pelanggannya karena ia pendengar yang sangat antusias dan komentator yang intelek tapi penuh empati. Apa yang terungkap di sana bisa begitu pahit dan tragis, menyentuh pengkhianatan, kemunafikan, dan jatidiri yang keropos, tapi caranya merespon menjadikan penonton seolah berada di meja yang sama. Karena punya pengalaman yang sama. Dengan kecerdikan macam itu tokoh-tokoh dalam filmnya memperoleh keleluasaan untuk mengungkapkan diri, merefleksikan perasaan, pikiran-pikirannya, dan argumentasinya. Hingga seringkali muncul wacana yang getir sekaligus menggelikan.
Sebagian besar karya Woody Allen barangkali boleh disebut esai. Menurut Ignas Kleden (Majalah Prisma no 8, 1988) kekuatan esai tidak terletak pada argumen yang dikandungnya melainkan pada lukisan pikiran dan perasaan. Esai tidak berhasrat mengajukan pemikiran yang kokoh melainkan menyajikan obrolan yang cerdas dan memikat. Esai, kata Kleden, adalah dialog, yang tidak selalu tertib dan disiplin tapi cenderung nakal, kocak, penuh surprise, dan berpedoman pada kebebasan manusia.
Maka pertempuran batin Judah tidak rampung begitu saja dengan membungkam Dolores. Sebab hidup Judah dibangun dari ajaran-ajaran ayahnya tentang moral, dosa, dan Tuhan. Judah tidak melupakan pesan terpenting ayahnya: Tuhan melihat apapun yang manusia lakukan. Itu sebabnya Judah memberanikan diri menceritakan masalahnya pada Ben, seorang rabbi yang menjadi pasiennya karena terancam buta.
Ben tentu saja memberikan nasihat-nasihat yang berpihak pada moralitas dan pilar-pilar normatif. Kita diberi petunjuk tapi tidak jalan keluar. Judah kini bicara pada Jack, adiknya. Jack ini personifikasi pemberontak, memberontaki ajaran sang ayah, dan hidup sebagai mafioso. Jack bilang: bunuh Dolores.
Mafia bekerja efektif dan Jack menjamin prosesnya akan rapi. Tidak bakal ketahuan siapa pelakunya, di mana simpulnya. Konflik batin Judah makin riuh. Ia tidak pernah membayangkan pembunuhan dan menjadi bagian di dalamnya. Namun rongrongan Dolores membuatnya tidak mampu melihat kemungkinan yang lain lagi.
Singkat cerita Dolores benar-benar terbunuh. Judah didera perasaan bersalah meskipun jaminan adiknya memang terbukti. Saking tertekannya Judah sampai kepikiran untuk menyerahkan diri pada polisi. Tapi toh ia lebih memikirkan keluarga dan dirinya sendiri.
Salah satu cara yang ditempuh Judah untuk meringankan bebannya adalah dengan mengunjungi bekas rumah keluarganya. Di sana ia bisa menyaring lagi ajaran-ajaran sang ayah dan syukur-syukur menemukan perspektif lain yang tidak serta-merta memvonisnya berdosa. Di rumah itulah keluarga besarnya terbiasa makan malam bersama sembari melakukan diskusi yang mendalam dan intelek.
Dalam adegan ini penonton melihat keluarga Judah berdebat seru di ruang makan. Judah remaja serta Jack belia ada di sana. Kemudian Judah Dewasa masuk, berdiri di ambang pintu. Disimaknya perdebatan di meja tentang filsafat Lenin, pembantaian enam juta Yahudi oleh Hitler, tentang kekuasaan, struktur moral, impuls manusia yang pada dasarnya baik, nihilis, logika, sampai soal sembahyang.
Saat diskusi makin gaduh dan secara tak langsung menyentuh persoalan yang tengah ia hadapi, Judah Dewasa tiba-tiba mengajukan pertanyaan, “Bagaimana jika ada yang melakukan pembunuhan?”
Ayahnya menjawab lugas, “Bagaimanapun dia akan dihukum!”
Tapi pamannya menangkis, “Kalau tertangkap.”
Si Ayah bertahan.
Si Paman menghardik, “Kau terlalu menekankan Kitab!”
Ayah Judah tak goyah. “Dalam Perjanjian Lama sampai Shakespeare pembunuhan selalu terbongkar!”
Nah Allen luwes saja mengintegrasikan Judah ke penggalan masa lalu yang tak lagi riil tapi kontekstual. Ia meneroboskan dan membenturkannya begitu saja. Dilepasnya Judah berkonfrontasi langsung dengan ayahnya sekaligus melihat pamannya sebagai representasi perlawanan terhadap ajaran yang terlalu bersetia pada teks.
Apakah Woody Allen mendeskripsikan keraguannya terhadap ajaran yang dogmatis? Sebab Judah yang berpijak pada akar agama dan budaya yang kokoh toh kehilangan pondasi setelah memiliki segalanya, sampai punya selingkuhan dan akhirnya jadi pembunuh. Jack malah menjelma dengan sempurna sebagai bandit. Tapi di sisi lain, Rabbi Ben akhirnya mampu memandang segala hal dengan jernih saat matanya benar-benar buta.
Jadi mungkin substansinya, ajaran sang ayah yang kaku dan baku menjadikan Judah dan Jack tumbuh dalam ketakutan, dan gamang saat bersentuhan dengan realitas yang begitu kompleks. Sementara Rahib Ben adalah penyempurnaan dari seorang pengajar kehidupan yang mengerti kelemahannya sendiri sebagai manusia, dan dengan itu mampu menyentuh kebeningan.
Film-film Woody Allen selalu menjadi penting sebab menyerupai persinggahan yang hangat yang membuat kita tidak makin tersesat.
Kemanggisan, Oktober 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar