Hatred isn’t something you born with. It gets taught.
James
Chaney mestinya jadi laki-laki penakut. Pemuda 21 tahun itu warga Mississippi
dan kulitnya hitam. Mississippi bangga menjadi kisah sukses pengusung
segregasi. Di rumah makan tiga-perempat ruangan untuk orang kulit putih,
sisanya bagi kaum lainnya. Wastafel pun terpisah dan harus beda modelnya. Negro
dibiarkan hidup tapi tak punya hak yang sama. Karena cuma “numpang” mereka juga
tak berhak melawan jika disakiti. Tapi karena di dalam komunitas mayoritas
tidak semua sejahtera, tidak semua bahagia, mereka selalu butuh musuh untuk
melepas marah. James Chaney mestinya penakut karena setiap saat bisa jadi
mangsa.
Tapi
James malah jadi aktivis. Memutuskan jadi pejuang kebebasan bagi kaumnya dan
kelompok minoritas lainnya. Toh ia punya
teman. Pekerja sosial Michael Schwerner, 24 tahun, dan mahasiswa antroplogi
Andrew Goodman, 20, datang dari New York untuk meneliti peristiwa pembakaran
sebuah gereja yang digunakan sebagai tempat pertemuan para pendukung hak-hak
sipil.
Ketiga
anak muda penuh daya itu kemudian hilang. Dan baru ditemukan setelah enam
pekan. Terkubur di area bendungan. Ketiganya mati karena peluru. Di tubuh James
ditemukan luka hebat akibat pukulan tanpa ampun. Pembantaian di Mississippi
pertengahan 1964 itu dijadikan landasan film Mississippi Burning (1988) oleh Alan Parker.
Parker
melakonkan kisahnya melalui sepasang agen FBI, Alan Ward dan Rupert Anderson.
Ward masih muda, berkacamata, penegak hukum berlatar sekolahan, prosedural,
serius, tak bisa gojek. “Kennedy boy”
sindir Anderson. Sebaliknya Anderson rileks, easy go, tak formal, tapi juga brangasan,
kenyang pengalaman lapangan.
Awalnya
mereka hanya berdua mengunjungi Jessup County, Mississippi, untuk menelusuri
laporan orang hilang – hilangnya ketiga aktivis. Tapi aparat setempat tidak
mendukung upaya mereka, dan di malam pertama keduanya sudah dipameri kekerasan
yang disponsori Ku Klux Klan, kelompok radikal berbasis supremasi dan
kebencian. Maka Ward memanggil pasukan berjas rapi yang diplesetkan dengan
sinis oleh deputi sheriff sebagai Federal Bureau of Integration.
Teror
pada FBI tidak surut tapi tidak diarahkan frontal. Siapapun yang memberikan
kesaksian digebuk. Makin intens tekanan yang diterimanya Ward makin yakin ia
sedang menghadapi kasus besar, tidak sekedar orang hilang. Itu sebabnya pasukan
FBI mengambil gedung bioskop sebagai markas. Saat pemilik motel minta FBI pergi
karena mengganggu bisnisnya, Ward instuksikan pada stafnya, “Beli saja.
Berapapun harganya.” Begitu mobil ketiga aktivis ditemukan di rawa-rawa Ward
mendatangkan lagi seratusan taruna angkatan laut untuk menemukan jasad korban
di tiap jengkal rawa.
Langkah
tegas Ward menabuh genderang perang. Kelompok radikal menyambut tantangannya
dengan beringas, kekerasan dan kematian jadi pemandangan sehari-hari. Warga
yang tidak terlibat memilih sikap aman, kaum minoritas yang jadi korban mengisolasi
diri. “Pergilah, biarkan kami sendiri,” pinta salah seorang keluarga korban.
“Dengan begitu mereka juga akan membiarkan kami.”
Di satu
adegan dokumenter yang disisipkan di tengah film terlihat seorang bocah ingusan
mengikuti seremoni Ku Klux Klan lengkap dengan busana khas penegas supremasi.
Tapi di sepanjang film Ward maupun Anderson tidak kunjung menemukan konklusi
dari mana kebencian berasal hingga membinasakan orang lain dirasa legal.
Keduanya kerap berseteru bukan semata karena perbedaan cara kerja tapi juga
disebabkan kebuntuan menyelami komunitas masyarakat yang begitu solid menjaga
kungkungan yang mereka ciptakan. Kantor polisi akhirnya menyerupai pagar kokoh
yang melindungi arena pengeroyokan, pengusaha berdiri di sisi yang sama sejauh
ia sendiri terlindung, birokrat ikut tepuk tangan sambil tutup mata, dan
pengadilan hanya sandiwara boneka.
“Mereka
brutal karena dipengaruhi pihak lain!” argumen hakim yang tak berani
menjatuhkan vonis. Si Hakim kiranya berada di baris nada yang sama dengan
pernyataan seorang tokoh dalam dialog MetroTV Senin petang 7 Februari 2011
menanggapi tewasnya tiga warga Ahmadiyah, “Ya begitulah yang disebut amuk
massa.” Ada korban terbunuh tapi – menurutnya – tak ada kejahatan.
Ward
mulai meninggalkan teks manualnya setelah istri salah satu pelaku pembunuhan
ketiga aktivis dihajar sendiri oleh si suami karena membocorkan tempat
penguburan korban. Yang berani menyuarakan kebenaran dan nyempal dari kebersamaan akan menuai akibatnya. Wanita itu kritis.
Tidak ada kerabat yang menungguinya di rumah sakit. Akhirnya Ward (Willem
Dafoe) memberikan keleluasaan pada Anderson yang lebih berpengalaman dan lebih
“kreatif” untuk menjaring seluruh pelaku.
Tentu
tidak semua langkah Anderson (Gene Hackman) disetujui Ward yang akademis dan
normatif, tapi menarik mengikuti bagaimana Anderson memecah-belah kelompok inti
komunitas pembenci itu untuk menjaring bukti dan saksi. Yang pasti pembantaian
ketiga aktivis itu dirancang dan diwujudkan berbagai lapisan secara kolektif.
Dari Clayton Townley yang pengusaha, Clinton Pell si deputi sheriff, hingga
Frank Bailey yang tukang las dan Lester Cowens yang tukang jahit.
Walikota
yang selama ini menaungi mereka memilih gantung diri. “Why he did do it? He
wasn’t even in on it,” seorang personel FBI tak memahami keputusan sang pamong.
“He wasn’t even the Klan.”
“Anyone’s
guilty who watches this happen and pretend it isn’t,” simpul Ward. “He was
guilty. Maybe we all are.”
Akhir
kata jika untuk anak-anak muda Indonesia televisi kita terlalu sibuk dengan
acara nyanyi-nyanyi diikuti gerakan-gerakan simetris audiens serta
lawakan-lawakan tak lucu kiranya film ini suatu saat bisa menjadi salah satu
koleksi perpustakaan sekolah-sekolah menengah, sebagai penyeimbang pelajaran
sejarah dan referensi apresiasi terhadap sesama.
Adam Herdanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar