Kamis, 03 November 2011

Mississippi Burning 1964, Indonesia Burning 2011


Hatred isn’t something you born with. It gets taught.

James Chaney mestinya jadi laki-laki penakut. Pemuda 21 tahun itu warga Mississippi dan kulitnya hitam. Mississippi bangga menjadi kisah sukses pengusung segregasi. Di rumah makan tiga-perempat ruangan untuk orang kulit putih, sisanya bagi kaum lainnya. Wastafel pun terpisah dan harus beda modelnya. Negro dibiarkan hidup tapi tak punya hak yang sama. Karena cuma “numpang” mereka juga tak berhak melawan jika disakiti. Tapi karena di dalam komunitas mayoritas tidak semua sejahtera, tidak semua bahagia, mereka selalu butuh musuh untuk melepas marah. James Chaney mestinya penakut karena setiap saat bisa jadi mangsa.

Tapi James malah jadi aktivis. Memutuskan jadi pejuang kebebasan bagi kaumnya dan kelompok minoritas lainnya.  Toh ia punya teman. Pekerja sosial Michael Schwerner, 24 tahun, dan mahasiswa antroplogi Andrew Goodman, 20, datang dari New York untuk meneliti peristiwa pembakaran sebuah gereja yang digunakan sebagai tempat pertemuan para pendukung hak-hak sipil.  

Ketiga anak muda penuh daya itu kemudian hilang. Dan baru ditemukan setelah enam pekan. Terkubur di area bendungan. Ketiganya mati karena peluru. Di tubuh James ditemukan luka hebat akibat pukulan tanpa ampun. Pembantaian di Mississippi pertengahan 1964 itu dijadikan landasan film Mississippi Burning (1988) oleh Alan Parker.

Parker melakonkan kisahnya melalui sepasang agen FBI, Alan Ward dan Rupert Anderson. Ward masih muda, berkacamata, penegak hukum berlatar sekolahan, prosedural, serius, tak bisa gojek. “Kennedy boy” sindir Anderson. Sebaliknya Anderson rileks, easy go, tak formal, tapi juga brangasan, kenyang pengalaman lapangan.

Awalnya mereka hanya berdua mengunjungi Jessup County, Mississippi, untuk menelusuri laporan orang hilang – hilangnya ketiga aktivis. Tapi aparat setempat tidak mendukung upaya mereka, dan di malam pertama keduanya sudah dipameri kekerasan yang disponsori Ku Klux Klan, kelompok radikal berbasis supremasi dan kebencian. Maka Ward memanggil pasukan berjas rapi yang diplesetkan dengan sinis oleh deputi sheriff sebagai Federal Bureau of Integration.

Teror pada FBI tidak surut tapi tidak diarahkan frontal. Siapapun yang memberikan kesaksian digebuk. Makin intens tekanan yang diterimanya Ward makin yakin ia sedang menghadapi kasus besar, tidak sekedar orang hilang. Itu sebabnya pasukan FBI mengambil gedung bioskop sebagai markas. Saat pemilik motel minta FBI pergi karena mengganggu bisnisnya, Ward instuksikan pada stafnya, “Beli saja. Berapapun harganya.” Begitu mobil ketiga aktivis ditemukan di rawa-rawa Ward mendatangkan lagi seratusan taruna angkatan laut untuk menemukan jasad korban di tiap jengkal rawa.     

Langkah tegas Ward menabuh genderang perang. Kelompok radikal menyambut tantangannya dengan beringas, kekerasan dan kematian jadi pemandangan sehari-hari. Warga yang tidak terlibat memilih sikap aman, kaum minoritas yang jadi korban mengisolasi diri. “Pergilah, biarkan kami sendiri,” pinta salah seorang keluarga korban. “Dengan begitu mereka juga akan membiarkan kami.”  

Di satu adegan dokumenter yang disisipkan di tengah film terlihat seorang bocah ingusan mengikuti seremoni Ku Klux Klan lengkap dengan busana khas penegas supremasi. Tapi di sepanjang film Ward maupun Anderson tidak kunjung menemukan konklusi dari mana kebencian berasal hingga membinasakan orang lain dirasa legal. Keduanya kerap berseteru bukan semata karena perbedaan cara kerja tapi juga disebabkan kebuntuan menyelami komunitas masyarakat yang begitu solid menjaga kungkungan yang mereka ciptakan. Kantor polisi akhirnya menyerupai pagar kokoh yang melindungi arena pengeroyokan, pengusaha berdiri di sisi yang sama sejauh ia sendiri terlindung, birokrat ikut tepuk tangan sambil tutup mata, dan pengadilan hanya sandiwara boneka.

“Mereka brutal karena dipengaruhi pihak lain!” argumen hakim yang tak berani menjatuhkan vonis. Si Hakim kiranya berada di baris nada yang sama dengan pernyataan seorang tokoh dalam dialog MetroTV Senin petang 7 Februari 2011 menanggapi tewasnya tiga warga Ahmadiyah, “Ya begitulah yang disebut amuk massa.” Ada korban terbunuh tapi – menurutnya – tak ada kejahatan.

Ward mulai meninggalkan teks manualnya setelah istri salah satu pelaku pembunuhan ketiga aktivis dihajar sendiri oleh si suami karena membocorkan tempat penguburan korban. Yang berani menyuarakan kebenaran dan nyempal dari kebersamaan akan menuai akibatnya. Wanita itu kritis. Tidak ada kerabat yang menungguinya di rumah sakit. Akhirnya Ward (Willem Dafoe) memberikan keleluasaan pada Anderson yang lebih berpengalaman dan lebih “kreatif” untuk menjaring seluruh pelaku.

Tentu tidak semua langkah Anderson (Gene Hackman) disetujui Ward yang akademis dan normatif, tapi menarik mengikuti bagaimana Anderson memecah-belah kelompok inti komunitas pembenci itu untuk menjaring bukti dan saksi. Yang pasti pembantaian ketiga aktivis itu dirancang dan diwujudkan berbagai lapisan secara kolektif. Dari Clayton Townley yang pengusaha, Clinton Pell si deputi sheriff, hingga Frank Bailey yang tukang las dan Lester Cowens yang tukang jahit.

Walikota yang selama ini menaungi mereka memilih gantung diri. “Why he did do it? He wasn’t even in on it,” seorang personel FBI tak memahami keputusan sang pamong. “He wasn’t even the Klan.”

“Anyone’s guilty who watches this happen and pretend it isn’t,” simpul Ward. “He was guilty. Maybe we all are.”

Akhir kata jika untuk anak-anak muda Indonesia televisi kita terlalu sibuk dengan acara nyanyi-nyanyi diikuti gerakan-gerakan simetris audiens serta lawakan-lawakan tak lucu kiranya film ini suatu saat bisa menjadi salah satu koleksi perpustakaan sekolah-sekolah menengah, sebagai penyeimbang pelajaran sejarah dan referensi apresiasi terhadap sesama. 

Adam Herdanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar