Minggu, 06 November 2011

The Kids aren't Allright

Orangtua yang baik akan memberikan segala hal yang terbaik untuk anak-anaknya. Tapi waktu akan membatasi keterlibatan kita, tidak selamanya kita akan menemani mereka.

Baru beberapa tahun silam Al Gore menjabarkan setumpuk fakta bahwa bumi yang kita huni sudah bukan tempat berpijak yang kokoh. Penjual nasi kucing di selatan Stasiun Lempuyangan Yogyakarta saja bisa menegaskannya, “Kapan musim hujan, kapan kemarau, sudah tidak karuan. Alamnya sudah hancur!” Dengan pondasi yang mulai labil macam itu lantas kita bisa nyangoni apa ke anak-anak?

Sinetron-sinetron konyol, guyonan-guyonan di televisi yang cuma patutnya ditertawakan pembuatnya sendiri, berita-berita kekerasan sekaligus kebuntuan yang makin hari makin terasa lumrah, serta soap opera Nazaruddin tak akan menyumbangkan gagasan adanya yang keliru dalam hidup kita. Meskipun keseharian kita begitu acak-adul kita akan sepakat saja dengan litani success story yang selalu dirilis kabinet Yudhoyono. Sehingga anak-anak itu pun akan baik-baik saja. The kids are all right.   

“Keadaan baik” menjadikan berita pembantaian sejumlah orangutan di Kalimantan Timur yang muncul akhir September 2011 tidak direspon sebagai malapetaka. Perburuan, penyiksaan dan kematiannya tidak disimak serius karena kita menolak untuk kaget bahwa kini orangutan mendapatkan cap hama. Penolakan ini nyesek, sebab kepada bangsa-bangsa di luar sana orangutan kita banggakan sebagai hak milik, nyatanya tidak pernah dirawat.

Malang betul nasibnya jika dibandingkan komodo yang saat ini diagungkan sebagai ciri keajaiban yang diwariskan di negeri ini. Atau, komodo nantinya juga akan disingkirkan?

Mendiamkan isu orangutan sebagai hama sama saja turut menyakiti dan memusnahkannya. Dari sisi ini saja kita sudah mereduksi kekayaan dan kebanggaan yang mestinya dimiliki anak-anak kita. Di sisi lain, andai benar orangutan bertransformasi sebagai pengganggu hidup manusia, bahwa mereka dibunuh dengan cara-cara penyiksaan yang begitu kreatif kejinya justru mengindikasikan adanya error dalam sikap kita. 

Apa yang sesungguhnya terjadi pada orangutan – dan pada kita orang Indonesia – dideskripsikan dengan gamblang oleh Patrick Rouxel melalui film Green. Dokumenter ini memperlihatkan bagaimana industri ciptaan manusia merampas hutan ciptaan-Nya; tapi meski Green bertutur dengan meyakinkan barangkali tidak banyak penonton yang meyakini perubahan. Sebab dengan kita menilai baik hidup kita dengan sendirinya itu menjadi bagian dari success story; jika sudah sukses, apa lagi yang harus diubah?   

Bagaimanapun Green amat layak diputar di sekolah-sekolah dan di ruang-ruang retret, apalagi pembuatnya mempersilakan diunduh gratis. Pertama, film sepanjang 48 menit itu gambar-gambarnya “menawan”, menyejukkan mata kemudian perlahan meluncur ke hati tanpa membuat penonton tersedak. Alurnya paralel tapi runut, mudah diikuti. Narasi memang tidak dibutuhkan sebab atmosfer dan landasan musiknya sudah menjadikan pemahaman kita lebih dari cukup. Menyaksikan Green sama “nyamannya” dengan mendengarkan Kitaro sambil merem.

Alasan kedua, kenapa film ini patut disaksikan anak-anak, karena sepatutnya anak-anak tidak hanya dikasih yang bagus-bagus dan indah-indah. Sebab limpahan kekayaan negeri ini sewaktu-waktu bisa menjelma tsunami dan erupsi. Pengetahuan akan membawa seorang anak jadi juara, tapi nilai sempurna dan hadiah belanja di mal tanpa dibarengi kerelaan melihat rapuhnya keadaan sekitar dan merumuskan bersama kontribusi yang bisa diberikan untuk turut memperbaikinya, justru akan menjauhkan anak dari kemandiriannya.

Misal banjir. Bencana yang satu ini bisa terjadi saat lautan tenang dan gunung lerem. Pemicunya hanya hujan. Tapi lahan hijau yang dipapras demi pusat belanja dan sungai yang dibiarkan jadi keranjang sampah mendorong air ikut-ikutan “rakus”. Sang juara bisa meraung-raung laptop dan televisi kesayangannya mendadak menyatu dalam kubangan sampah.

Green seekor orangutan betina. Kita melihatnya begitu film dimulai. Tubuhnya dibalut tas jinjing, terbaring lemah di antara kaki-kaki bersepatu karet di truk yang melesat di jalanan tanah yang gersang, dikelilingi lanskap tetumbuhan yang sama sekali tak rindang. Ia kemudian dibaringkan di tempat tidur di ruangan kantor yang bersih, diinfus, diselimuti handuk, dan berbantal Hello Kitty.  

Beberapa anak muda bergantian menjaga dan merawatnya. Digenggamnya pergelangan tangan gadis berstetoskop yang menemaninya dengan cemas. Garis-garis wajah Green labil dan lelah, terlihat seperti eyang buyut kita yang renta. Seekor cicak yang hidup natural – di balik jam dinding – mengingatkan Green pada kampungnya: hutan tropis serupa firdaus yang kini hanya indah di kalender.  

Alam yang hijau dan bening lambat-laun digantikan mesin-mesin dan pabrik yang sangar, bingar dan kaku. Tapi pembuat film ini memilih reflektif. Saat menggambarkan produk kertas sebagai salah satu simpul runtuhnya imperial orangutan, buku Thinkers of the Jungle: The Orangutan Report yang didisplay di toko buku yang berkelas dan temaram adalah bagian dari agen kehancuran itu. Sequence ini tampil dengan latar yang jazzy, terasa sebagai fase introspeksi yang lembut.

Sikap reflektif ini kiranya diambil agar Green tidak mandeg sebagai drama. Haru-biru tidak ada gunanya jika tidak mengukuhkan gagasan titik balik masing-masing penonton. Para pembuat film ini mencapai kematangannya sebagai pekerja media, bahwa kehidupan (dan perubahan) usai film lebih penting daripada film itu sendiri.

Rouxel begitu halus dan terukur saat bergerak keluar-masuk dari perkembangan Green yang batin dan raganya rusak ke keadaan aktual yang menyingkirkannya. Kita tidak merasa diceramahi tapi diajak mendengar batin sendiri.

“We are destroying this planet, we are destroying this world,” tegas Jean Kern, Board Member Global Exploration, dalam wawancara dengan Swasti Ayu dari Orca. “So we have to change the world, and young people can do it!”

“Sebelumnya saya belum punya pemikiran (menjaga keseimbangan alam), soalnya saya kan tidak tahu dan tidak ada pemberitahuan,” ucap Ghoziurfaiz siswa SMA Negeri 3 Yogyakarta usai menyaksikan Green. “Sekarang saya bisa maksimal untuk melestarikan alam, buat anak-cucu kita.”

“People in Indonesia should be proud of orangutan because they are symbol of the rainforest and they are our closest relatives,” imbuh Jean. “Also people in Indonesia should be aware that we should save the rainforest, for our future generations.”

Anak adalah titipan, maka pada basisnya mereka peka dan tulus. Karena kaum dewasa kini agak susah untuk tulus maka tidak selayaknya kita menempatkan diri sebagai yang paling tahu mengenai kebutuhan mereka. Green bisa menjadi pusaka hati anak-anak, jangan dibelokkan jadi fabel.  

Jumat, 04 November 2011

The Eyes of God are on Us Always

Judah Rosenthal seorang pria terhormat. Ia dokter spesialis mata yang sukses, diakui jasa-jasanya oleh komunitas intelektual, didampingi keluarga yang berkelas dan penuh kasih. Tapi Judah juga punya selingkuhan, seorang pramugari bernama Dolores. “Kesempurnaan” Judah mulai goyah saat Dolores menuntutnya menjadi pendampingnya secara resmi dan menceraikan istrinya. Jika keinginannya diremehkan Dolores akan mengungkap hubungan mereka selama ini pada keluarga Judah.   

Judah jelas menolak. Ia tokoh publik yang memiliki segalanya, Dolores tak lebih dari ruang belakang di sudut rumah, kecil, tertutup dan pengap. Hanya sesekali dibutuhkan dan dikunjungi.

Si Pacar tak surut, tak sudi melakukan kompromi, diperjuangkannya martabatnya. Judah kewalahan, sampai menawarkan uang ganti rugi segala. Tapi tuntutan Dolores makin kokoh, ancamannya untuk menemui langsung Nyonya Rosenthal lambat-laun masuk ke wilayah teror.

Pergulatan Judah menghadapi konsekuensi-konsukensi pilihan hidupnya merupakan drama moral yang disodorkan Woody Allen dalam Crimes and Misdemeanors. Sebuah film yang potensial menjadi klasik karena selalu relevan. Sebab tokoh-tokohnya adalah manusia-manusia yang di batinnya tersimpan tikungan yang tajam: orang-orang yang biasa kita jumpai sehari-hari tapi di balik hal-hal biasa itu terkandung jiwa yang rumit.  

Dalam peta perfilman Woody Allen meninggalkan tapak-tapak yang berciri. Ia seperti pemilik kedai kopi yang disayangi pelanggannya karena ia pendengar yang sangat antusias dan komentator yang intelek tapi penuh empati. Apa yang terungkap di sana bisa begitu pahit dan tragis, menyentuh pengkhianatan, kemunafikan, dan jatidiri yang keropos, tapi caranya merespon menjadikan penonton seolah berada di meja yang sama. Karena punya pengalaman yang sama. Dengan kecerdikan macam itu tokoh-tokoh dalam filmnya memperoleh keleluasaan untuk mengungkapkan diri, merefleksikan perasaan, pikiran-pikirannya, dan argumentasinya. Hingga seringkali muncul wacana yang getir sekaligus menggelikan.  

Sebagian besar karya Woody Allen barangkali boleh disebut esai. Menurut Ignas Kleden (Majalah Prisma no 8, 1988) kekuatan esai tidak terletak pada argumen yang dikandungnya melainkan pada lukisan pikiran dan perasaan. Esai tidak berhasrat mengajukan pemikiran yang kokoh melainkan menyajikan obrolan yang cerdas dan memikat. Esai, kata Kleden, adalah dialog, yang tidak selalu tertib dan disiplin tapi cenderung nakal, kocak, penuh surprise, dan berpedoman pada kebebasan manusia.   

Maka pertempuran batin Judah tidak rampung begitu saja dengan membungkam Dolores. Sebab hidup Judah dibangun dari ajaran-ajaran ayahnya tentang moral, dosa, dan Tuhan. Judah tidak melupakan pesan terpenting ayahnya: Tuhan melihat apapun yang manusia lakukan. Itu sebabnya Judah memberanikan diri menceritakan masalahnya pada Ben, seorang rabbi yang menjadi pasiennya karena terancam buta.   

Ben tentu saja memberikan nasihat-nasihat yang berpihak pada moralitas dan pilar-pilar normatif. Kita diberi petunjuk tapi tidak jalan keluar. Judah kini bicara pada Jack, adiknya. Jack ini personifikasi pemberontak, memberontaki ajaran sang ayah, dan hidup sebagai mafioso. Jack bilang: bunuh Dolores.    

Mafia bekerja efektif dan Jack menjamin prosesnya akan rapi. Tidak bakal ketahuan siapa pelakunya, di mana simpulnya. Konflik batin Judah makin riuh. Ia tidak pernah membayangkan pembunuhan dan menjadi bagian di dalamnya. Namun rongrongan Dolores membuatnya tidak mampu melihat kemungkinan yang lain lagi.

Singkat cerita Dolores benar-benar terbunuh. Judah didera perasaan bersalah meskipun jaminan adiknya memang terbukti. Saking tertekannya Judah sampai kepikiran untuk menyerahkan diri pada polisi. Tapi toh ia lebih memikirkan keluarga dan dirinya sendiri.

Salah satu cara yang ditempuh Judah untuk meringankan bebannya adalah dengan mengunjungi bekas rumah keluarganya. Di sana ia bisa menyaring lagi ajaran-ajaran sang ayah dan syukur-syukur menemukan perspektif lain yang tidak serta-merta memvonisnya berdosa. Di rumah itulah keluarga besarnya terbiasa makan malam bersama sembari melakukan diskusi yang mendalam dan intelek.  

Dalam adegan ini penonton melihat keluarga Judah berdebat seru di ruang makan. Judah remaja serta Jack belia ada di sana. Kemudian Judah Dewasa masuk, berdiri di ambang pintu. Disimaknya perdebatan di meja tentang filsafat Lenin, pembantaian enam juta Yahudi oleh Hitler, tentang kekuasaan, struktur moral, impuls manusia yang pada dasarnya baik, nihilis, logika, sampai soal sembahyang.

Saat diskusi makin gaduh dan secara tak langsung menyentuh persoalan yang tengah ia hadapi, Judah Dewasa tiba-tiba mengajukan pertanyaan, “Bagaimana jika ada yang melakukan pembunuhan?”

Ayahnya menjawab lugas, “Bagaimanapun dia akan dihukum!”

Tapi pamannya menangkis, “Kalau tertangkap.”

Si Ayah bertahan.

Si Paman menghardik, “Kau terlalu menekankan Kitab!”

Ayah Judah tak goyah. “Dalam Perjanjian Lama sampai Shakespeare pembunuhan selalu terbongkar!”

Nah Allen luwes saja mengintegrasikan Judah ke penggalan masa lalu yang tak lagi riil tapi kontekstual. Ia meneroboskan dan membenturkannya begitu saja. Dilepasnya Judah berkonfrontasi langsung dengan ayahnya sekaligus melihat pamannya sebagai representasi perlawanan terhadap ajaran yang terlalu bersetia pada teks.   

Apakah Woody Allen mendeskripsikan keraguannya terhadap ajaran yang dogmatis? Sebab Judah yang berpijak pada akar agama dan budaya yang kokoh toh kehilangan pondasi setelah memiliki segalanya, sampai punya selingkuhan dan akhirnya jadi pembunuh. Jack malah menjelma dengan sempurna sebagai bandit. Tapi di sisi lain, Rabbi Ben akhirnya mampu memandang segala hal dengan jernih saat matanya benar-benar buta.

Jadi mungkin substansinya, ajaran sang ayah yang kaku dan baku menjadikan Judah dan Jack tumbuh dalam ketakutan, dan gamang saat bersentuhan dengan realitas yang begitu kompleks. Sementara Rahib Ben adalah penyempurnaan dari seorang pengajar kehidupan yang mengerti kelemahannya sendiri sebagai manusia, dan dengan itu mampu menyentuh kebeningan.

Film-film Woody Allen selalu menjadi penting sebab menyerupai persinggahan yang hangat yang membuat kita tidak makin tersesat.   

Kemanggisan, Oktober 1999  

Kamis, 03 November 2011

Mississippi Burning 1964, Indonesia Burning 2011


Hatred isn’t something you born with. It gets taught.

James Chaney mestinya jadi laki-laki penakut. Pemuda 21 tahun itu warga Mississippi dan kulitnya hitam. Mississippi bangga menjadi kisah sukses pengusung segregasi. Di rumah makan tiga-perempat ruangan untuk orang kulit putih, sisanya bagi kaum lainnya. Wastafel pun terpisah dan harus beda modelnya. Negro dibiarkan hidup tapi tak punya hak yang sama. Karena cuma “numpang” mereka juga tak berhak melawan jika disakiti. Tapi karena di dalam komunitas mayoritas tidak semua sejahtera, tidak semua bahagia, mereka selalu butuh musuh untuk melepas marah. James Chaney mestinya penakut karena setiap saat bisa jadi mangsa.

Tapi James malah jadi aktivis. Memutuskan jadi pejuang kebebasan bagi kaumnya dan kelompok minoritas lainnya.  Toh ia punya teman. Pekerja sosial Michael Schwerner, 24 tahun, dan mahasiswa antroplogi Andrew Goodman, 20, datang dari New York untuk meneliti peristiwa pembakaran sebuah gereja yang digunakan sebagai tempat pertemuan para pendukung hak-hak sipil.  

Ketiga anak muda penuh daya itu kemudian hilang. Dan baru ditemukan setelah enam pekan. Terkubur di area bendungan. Ketiganya mati karena peluru. Di tubuh James ditemukan luka hebat akibat pukulan tanpa ampun. Pembantaian di Mississippi pertengahan 1964 itu dijadikan landasan film Mississippi Burning (1988) oleh Alan Parker.

Parker melakonkan kisahnya melalui sepasang agen FBI, Alan Ward dan Rupert Anderson. Ward masih muda, berkacamata, penegak hukum berlatar sekolahan, prosedural, serius, tak bisa gojek. “Kennedy boy” sindir Anderson. Sebaliknya Anderson rileks, easy go, tak formal, tapi juga brangasan, kenyang pengalaman lapangan.

Awalnya mereka hanya berdua mengunjungi Jessup County, Mississippi, untuk menelusuri laporan orang hilang – hilangnya ketiga aktivis. Tapi aparat setempat tidak mendukung upaya mereka, dan di malam pertama keduanya sudah dipameri kekerasan yang disponsori Ku Klux Klan, kelompok radikal berbasis supremasi dan kebencian. Maka Ward memanggil pasukan berjas rapi yang diplesetkan dengan sinis oleh deputi sheriff sebagai Federal Bureau of Integration.

Teror pada FBI tidak surut tapi tidak diarahkan frontal. Siapapun yang memberikan kesaksian digebuk. Makin intens tekanan yang diterimanya Ward makin yakin ia sedang menghadapi kasus besar, tidak sekedar orang hilang. Itu sebabnya pasukan FBI mengambil gedung bioskop sebagai markas. Saat pemilik motel minta FBI pergi karena mengganggu bisnisnya, Ward instuksikan pada stafnya, “Beli saja. Berapapun harganya.” Begitu mobil ketiga aktivis ditemukan di rawa-rawa Ward mendatangkan lagi seratusan taruna angkatan laut untuk menemukan jasad korban di tiap jengkal rawa.     

Langkah tegas Ward menabuh genderang perang. Kelompok radikal menyambut tantangannya dengan beringas, kekerasan dan kematian jadi pemandangan sehari-hari. Warga yang tidak terlibat memilih sikap aman, kaum minoritas yang jadi korban mengisolasi diri. “Pergilah, biarkan kami sendiri,” pinta salah seorang keluarga korban. “Dengan begitu mereka juga akan membiarkan kami.”  

Di satu adegan dokumenter yang disisipkan di tengah film terlihat seorang bocah ingusan mengikuti seremoni Ku Klux Klan lengkap dengan busana khas penegas supremasi. Tapi di sepanjang film Ward maupun Anderson tidak kunjung menemukan konklusi dari mana kebencian berasal hingga membinasakan orang lain dirasa legal. Keduanya kerap berseteru bukan semata karena perbedaan cara kerja tapi juga disebabkan kebuntuan menyelami komunitas masyarakat yang begitu solid menjaga kungkungan yang mereka ciptakan. Kantor polisi akhirnya menyerupai pagar kokoh yang melindungi arena pengeroyokan, pengusaha berdiri di sisi yang sama sejauh ia sendiri terlindung, birokrat ikut tepuk tangan sambil tutup mata, dan pengadilan hanya sandiwara boneka.

“Mereka brutal karena dipengaruhi pihak lain!” argumen hakim yang tak berani menjatuhkan vonis. Si Hakim kiranya berada di baris nada yang sama dengan pernyataan seorang tokoh dalam dialog MetroTV Senin petang 7 Februari 2011 menanggapi tewasnya tiga warga Ahmadiyah, “Ya begitulah yang disebut amuk massa.” Ada korban terbunuh tapi – menurutnya – tak ada kejahatan.

Ward mulai meninggalkan teks manualnya setelah istri salah satu pelaku pembunuhan ketiga aktivis dihajar sendiri oleh si suami karena membocorkan tempat penguburan korban. Yang berani menyuarakan kebenaran dan nyempal dari kebersamaan akan menuai akibatnya. Wanita itu kritis. Tidak ada kerabat yang menungguinya di rumah sakit. Akhirnya Ward (Willem Dafoe) memberikan keleluasaan pada Anderson yang lebih berpengalaman dan lebih “kreatif” untuk menjaring seluruh pelaku.

Tentu tidak semua langkah Anderson (Gene Hackman) disetujui Ward yang akademis dan normatif, tapi menarik mengikuti bagaimana Anderson memecah-belah kelompok inti komunitas pembenci itu untuk menjaring bukti dan saksi. Yang pasti pembantaian ketiga aktivis itu dirancang dan diwujudkan berbagai lapisan secara kolektif. Dari Clayton Townley yang pengusaha, Clinton Pell si deputi sheriff, hingga Frank Bailey yang tukang las dan Lester Cowens yang tukang jahit.

Walikota yang selama ini menaungi mereka memilih gantung diri. “Why he did do it? He wasn’t even in on it,” seorang personel FBI tak memahami keputusan sang pamong. “He wasn’t even the Klan.”

“Anyone’s guilty who watches this happen and pretend it isn’t,” simpul Ward. “He was guilty. Maybe we all are.”

Akhir kata jika untuk anak-anak muda Indonesia televisi kita terlalu sibuk dengan acara nyanyi-nyanyi diikuti gerakan-gerakan simetris audiens serta lawakan-lawakan tak lucu kiranya film ini suatu saat bisa menjadi salah satu koleksi perpustakaan sekolah-sekolah menengah, sebagai penyeimbang pelajaran sejarah dan referensi apresiasi terhadap sesama. 

Adam Herdanto

Rabu, 02 November 2011

Life on the Street, Hope on TV

Detektif Frank Pembleton diminta istrinya turut mengikuti misa yang akan dipersembahkan oleh Paus. Menjelang kedatangan Paus ke Amerika Pembleton harus menangani kasus yang tak rumit-rumit amat tapi membuatnya goyah.

Seorang anak ditembak hingga koma.   Pelakunya juga masih bocah, seorang remaja tanggung. Si korban tidak pernah sadarkan diri, secara medis ia sudah pergi untuk selamanya. Tapi orangtuanya tak mau melepaskannya. Sang Ibu bersikeras dia belum mati dan yakin pada saatnya nanti akan bangun.     

Toh mereka harus menghadapi kenyataan. Mesin pemacu di sisi tempat tidur dimatikan, kabel yang menjerat tubuh dan jiwa anak itu dicabut. Jantung si anak diterbangkan helikopter ke Rumah Sakit Chicago Hope karena seorang anak lainnya membutuhkannya. Jantung bocah korban penembakan itu segera ditransplantasikan kepadanya.

Paus tiba. Umat berbondong-bondong menghadiri misa. Saat yang sama Pembleton justru ragu.  

Seorang remaja petentang-petenteng memamer-mamerkan pistol. Peluru tiba-tiba melesat, bersarang di tubuh anak lain. Proses koma yang panjang terasa begitu gamang ketika harapan akhirnya tidak berpihak pada keselamatan korban tak berdosa. Orangtuanya limbung. Semua yang menyaksikan rangkaian peristiwa itu – termasuk Pembleton – tidak tahu lagi di mana harus menempatkan diri. Memang di bab penutup hidupnya anak itu masih bermakna bagi orang lain, jantungnya menghidupkan harapan sesamanya, namun makna di balik semua itu sungguh susah dirumuskan.   

Kisah di atas intisari salah satu episode serial tv Homicide: Life on the Street yang ditayangkan SCTV sekitar tahun 1996-1998. Sebagai detektif unit pembunuhan di Kepolisian Baltimore tiap saat Pembleton menyaksikan pahitnya hidup sesamanya. Saban hari ada saja masalah bunuh-bunuhan. Orang-orang menjelma elmaut bagi orang lain. Darah dan tangis seolah tak pernah rehat menetes.

Saking ampangnya mengurus masalah-masalah pembunuhan sampai pernah Pembleton terseret perdebatan “lucu” dengan Tim Bayliss partnernya. Saat itu keduanya harus memberi kabar pada keluarga korban, dan sudah berjalan menuju pintu.

“Kamu ya yang ngomong.”

“Kok aku?”

“Aku kan lebih lama jadi polisi. Kalau setiap hari setidaknya aku harus kasih kabar lima keluarga korban pembunuhan, sudah berapa ribu kali aku melakukannya? Justru kamu yang harus nambah pengalaman.”

“Lho dalam hal begini mereka justru butuh orang berpengalaman. Aku nanti belajar dari caramu.”

Mereka terus berdebat, padahal sudah tinggal ketuk.   

Peristiwa-peristiwa kematian akibat kekerasan yang berskala harian itu pada akhirnya tidak sekedar menantang profesionalitas Pembleton sebagai penegak hukum, tapi juga imannya.

Serial Chicago Hope juga pernah menyodorkan wacana semacam itu pada penontonnya. Seorang penderita parkinson lumpuh hampir di seluruh tubuhnya tapi keinginannya yang amat tinggi untuk sembuh mendorongnya secara intensif memantau kemajuan ilmu kedokteran. Salah satu hasil yang ia peroleh adalah metode cangkok janin ke tubuh penderita.

Si pasien – dan istrinya – rupanya sudah siap untuk melakukannya. Si janin sudah menunggu di kandungan sang istri. 

Saya tidak ingat bagaimana si istri hamil, yang pasti dewan doker RS. Chicago Hope mengakui keabsahan metode itu tapi tidak serta-merta melihatnya sebagai “job”. Masing-masing dokter terlibat perang argumentasi yang dahsyat, tenggelam dalam konflik personal yang rumit. Sebagian menolak menyembuhkan dengan membunuh, sebagian lainnya berdiri di kelompok yang mensyukuri kemajuan kedokteran modern: apa artinya penemuan penting dalam keilmuan jika tidak diaplikasikan?   

Dokter Philip Watters misalnya, kepala staf Chicago Hope itu tegas-tegas mendesakkan penolakannya. Alasannya? Prinsip. Karena ia Katolik. Dan Katolik melarang aborsi, melarang hak hidup si janin distop, apapun argumentasi dan kebutuhannya.

Si Istri yang mengandung berterima kasih pada Suster Kepala yang selalu mendampingi dan melayaninya. Tapi pada saat mengantarkannya ke ruang operasi Si Suster menghentikan langkah di depan pintu, “Maaf saya hanya sampai di sini. Saya tidak mendukung kegiatan yang akan dilakukan di dalam sana.”

Operasi dilaksanakan. Dipimpin dua dokter senior Jeffrey Geiger dan Aaron Shutt yang sudah diakui integritasnya. Angan-angan si pasien terwujud, harapan kini didekapnya. Tapi suasana Chicago Hope terasa tawar.

Hidup kita menghadapi tantangan moral dan etik yang makin pelik. Dunia kian maju tapi semrawut dan resah. Kita berada di planet yang sama dengan orang-orang di Baltimore maupun Chicago, tapi di layar televisi kita kini tidak ada lagi tokoh seperti Pembleton dan Geiger yang mewakili kegelisahan dan keputusan kita.  

Tapi sudahlah, bagaimanapun televisi mesti disyukuri, seperti komedian Groucho Marx bilang, “I must say I find television very educational. The minute somebody turns it on, I go to the library and read a good book.”

To Encourage the Others



Ada film-film tertentu yang tidak pernah kita harapkan lenyap dari rak koleksi tapi keinginan menontonnya lagi hampir tak pernah dibiarkan. Let Him Have It (Peter Medak, 1991) termasuk dalam kelompok itu. Film bagus tapi terlalu pahit untuk dihadapi lagi. Mungkin karena kisahnya kisah nyata maka terbentuklah penolakan untuk “tidak terjadi lagi”, sekalipun itu hanya di layar. Tapi justru karena jangan terjadi lagi itu film ini mestinya jadi tontonan wajib kalangan tertentu. Mahasiswa fakultas hukum wajib disebut pertama. Namun secara umum Let Him Have It relevan bagi anak muda kalangan manapun. Sebab, pertama, meski beda latar dan jaman toh kisahnya soal anak muda juga.

Kedua, tampaknya kebutuhan apresiasi di kalangan muda diyakini sudah sedemikian mendesak sampai ada pihak yang pernah “memaksakan” berbagai buku tentang satu tokoh (tok) ke sekolah-sekolah. Dengan menyepakati urgensi itu seyogyanya arena apresiasi diperluas sampai menyentuh lapisan yang paling gelap dan hati yang paling dasar. Siapa tahu anak-anak muda Indonesia yang waktunya banyak dibebani ajakan nyanyi-nyanyi, nangis-nangis dan gojek-gojek di tv akan tersengat bahwa mereka berpijak di kehidupan yang labil, sekaligus tertampar bahwa pada mereka juga harapan menjadikannya kokoh terletak.

Ingatan pada Let Him Have It muncul setelah bertemu Anton. Dia mahasiswa fakultas hukum. Apa cita-citanya? Ia menyukai pengacara-pengacara yang kerap muncul di tv. “Tapi jadi jaksa kayaknya gampang jadi kaya juga,” selorohnya sambil terbahak. “Belum ada cita-cita, lihat nantilah. Masuk hukum juga karena diterimanya di situ.” Tapi cepat-cepat ditambahkannya ia tidak sendiri, sebagian besar temannya juga melangkah sesederhana dia. “Dijalani dulu …” Itu maksudnya.

“Pernah denger Yap Thiam Hien?”

Anton tertawa sebelum menjawab. Dan kita sudah tahu jawabannya.

“Siapa tuh? Yang punya toko besi?” Tawanya keras. Tapi ia menanyakannya.

“Kamu harus sering nonton film-film hukum,” saran seorang teman. “Biar termotivasi. Banyak film-film courtroom drama .” Disebutkannya A Few Good Men  sampai serial Law and Order dan Murder One. “A Few Good Men dululah, paling nggak ada Tom Cruise-nya.”

“Waduh film-film hukum pasti berat. Hidup jadi makin berat.” Dia tertawa keras lagi.

Derek William Bentley seusia Anton pada saat harus menjalani hukuman gantung. Ia remaja lemah, inteligensianya payah, dan mengidap epilepsi. Masa kecil yang serba sulit membuatnya karib dengan kriminalitas. Di usia 15 sudah jadi maling. Bentley sulit mempertahankan pekerjaan karena sakitnya kerap kambuh.

Suatu malam bersama Christopher Craig temannya ia berusaha menjebol gudang konveksi di sudut Croydon, London selatan. Upaya mereka terlihat warga. Tak lama kemudian muncul rombongan polisi. Melalui sembunyi-sembunyian dan kejar-kejaran di celah-celah bangunan bertingkat polisi berhasil mencekal Bentley. Polisi lainnya memburu Craig.

Polisi bernama Sidney Miles akhirnya berhadapan dengan Craig. Miles tidak begitu saja menyergapnya karena Craig ternyata membawa revolver.

“Let him have it, Chris!” teriak Bentley panik.     

Dan dar! Miles roboh, tewas seketika karena peluru menghantam kepalanya.

Di pengadilan ucapan Bentley dijadikan masalah utama dan akan menentukan nasibnya. Let him have it, apakah berarti “Serahkan pistol padanya” atau “Tanamkan peluru padanya”?

Chris Craig si penembak dan pembunuh polisi lolos dari jerat hukuman maksimal karena usianya baru 16 tahun. Bentley bersama pembelanya gagal mempertahankan argumentasi dan fakta yang mereka yakini, hingga Bentley yang IQ-nya berkisar 66 dan tidak bisa baca-tulis harus menjalani eksekusi 28 Januari 1953.

Di luar penjara tempat berlangsungnya hukuman teriakan pemrotes tidak surut. Tapi negara juga keukeh merasa benar.  

Itulah Let Him Have It yang mestinya ditonton Anton dan teman-temannya. Bukan semata demi turut menjadi “saksi” pahitnya hidup sesama dan gamangnya sistem yang menaungi, tapi lihatlah fakta ini: dua tahun setelah film ini dibuat Bentley memperoleh royal pardon  atas hukuman mati yang telah dijalaninya. Dan tahun 1998 vonis Bentley terlibat pembunuhan dibatalkan. Negara akhirnya mengoreksi kesalahannya setelah 45 tahun! Itu tidak terjadi begitu saja tapi jelas melalui pergulatan dan perjalanan terjal yang tidak saja dilakukan kerabat Bentley, tapi juga didaki dengan komitmen penuh dan keyakinan oleh ahli hukum, para simpatisan, sampai penulis, linguis, dan pembuat film.

Pada akhirnya keseluruhan riwayat Bentley memilah mereka yang selalu bekerja dengan angka dan mereka yang tak berangka. Yang pertama jujukannya nominal dan pasal, yang kedua tak ternilai lagi martabatnya.

Jadi gitu, Ton

People Always Leave Things Undone, or Done Badly

Ada kalanya keluarga melakukan reuni dan membicarakan bagian dari mereka yang telah berpulang. Kematian bisa dianggap tutupnya satu bab meskipun rangkaian kisah di dalamnya tidak pernah benar-benar usai, dan jika kita lebih banyak mendengar hal baik-baik mengenai mendiang bisa dimaknai sebagai cara menghidupi daya yang kita punya agar tak mandeg sebelum kita sendiri mati. Volver (2006) karya ikon perfilman Spanyol Pedro Almodovar menghadirkan renungan macam itu dalam suasana karib dan penuh pengertian satu sama lain.

Film yang dibuka dengan adegan bersih-bersih kuburan ini kenyataannya bicara soal apa yang selama ini terkubur dan apa yang nantinya akan dikubur. Jalinan kisah dan misteri di dalamnya dijalin oleh Raimunda (Penélope Cruz), seorang wanita pekerja, ibu satu anak, suaminya baru saja kehilangan pekerjaan tapi tetap minta bir pada istrinya. Raimunda gelisah, banyak beban, tidak punya cukup uang, tidak punya mobil tapi senang nyetir.

Makam yang dibersihkannya bersama Sole adiknya dan Paula putri satu-satunya adalah peristirahatan ayah-ibunya yang meninggal bersama dalam satu musibah. Raimunda mengatakan, Irene – sang ibu – pasti bahagia meninggal dalam dekapan orang yang paling dicintainya. Di makam mereka juga bertemu Agustina yang dekat secara geografis dan emosional dengan keluarga Raimunda. Agustina datang untuk membersihkan makamnya sendiri.

Raimunda makin sumpek saat putrinya yang hampir tak pernah melepas seluler dari genggaman terlibat satu peristiwa fatal. Penguasaannya pada timbunan beban masalah membuatnya tegas mengambil-alih tanggung-jawab, sebagaimana perjuangannya selama ini memperoleh penghasilan yang layak untuk mewujudkan kehidupan yang pantas.

Dan Raimunda melakukannya dengan integritas: dipinjamnya uang dari tetangga-tetangga yang berpapasan dengannya di jalanan dan mengembalikannya dengan kelebihan. Keruwetan sekaligus kegigihannya bikin laki-laki penasaran tapi tak pernah dibiarkannya muncul celah untuk mereka (seperti film ini sendiri yang meminggirkan kaum laki-laki). Pada saat Raimunda berusaha mengendalikan semua itu dalam satu harmoni, orang-orang dekatnya justru dirusuhi peristiwa-peristiwa tak terkendali.

Bibi yang sangat disayanginya meninggal. Si bibi yang pikun tapi “bisa mengurus diri sendiri secara ideal” itu adalah akar keluarganya yang tersisa setelah kematian tragis Irene. Masalahnya, Irene malah menampakkan diri saat si bibi wafat. Pertama pada Agustina yang rumahnya hanya beberapa langkah dari tempat tinggal bibi, kemudian Irene hadir di hadapan Sole.

Penampakan Irene mengubah keseharian Sole yang sehari-hari mengelola usaha salon di rumah. Irene pun menerbitkan harapan pada Agustina. Harapan menyangkut masa lalu yang tak jelas simpulnya: saat Irene dan suaminya mati, ibu Agustina tiba-tiba lenyap. Agustina tak percaya hilangnya sang ibu dan kematian Irene di waktu yang sama sekedar kebetulan. 

Dalam keadaan kepayahan karena digerogoti kanker Agustina memohon pada Raimunda untuk menanyakannya jika Irene menemuinya. Raimunda setengah hati, justru ibunya itu salah satu bebannya selama ini. Amarah yang terpendam pada Irene membuatnya baru bisa berjanji pada putrinya suatu saat akan mengungkap siapa ayahnya yang sesungguhnya. Tapi Irene sendiri tampaknya segan ngetoki Raimunda.    

Harus disebut alamiahnya Penélope Cruz menghembuskan roh pada wanita yang tak nyaman pada diri sendiri. Cruz yang mudik ke Spanyol dan reuni dengan Almodovar merangkum Raimunda sebagai wanita pelosok yang pindah ke sudut Madrid membawa serta seluruh tumpukan kompromi yang dikuasainya. Close up wajah Cruz di kamar yang gelap setelah menolak permintaan suaminya menggali kesempurnaannya membentuk jiwa yang patah.   

Apakah Irene kembali untuk urusan yang belum selesai, agar bisa pergi selamanya dengan tenang? Kisah ini mengandung banyak misteri, memendam berbagai lapisan emosi, tapi tonton sendiri .. Yang bisa diungkap di sini Irene muncul dalam aura yang damai, kepergiannya sekian lama membuatnya cair dan tak ingin membuat mereka yang dikunjunginya terbebani. Ia sudah tiba pada pemahaman yang sempurna terhadap beban dan kemarahan Raimunda. Irene bisa begitu konyol dan centil di hadapan Sole tapi sesenggukan begitu mendengar Raimunda menyanyi.

Kedamaian Irene, kedamaian Almodovar. Almodovar jika di Indonesia rentan jadi target sweeping para “pembela moral bangsa” karena tidak pernah meninggalkan orang-orang yang selama ini mendapatkan hatinya, dari banci sampai pelacur murahan. Ia gampang disinisi kaum laki-laki karena selalu menertawakan agresivitas mereka dan terang-terangan berpihak pada perempuan yang tak dihargai tapi menolak pasrah. Tanpa kehilangan humor dan ironi Volver adalah sentuhannya yang paling bening.

Muara dari seluruh pusaran misteri ada pada Irene. Di awal film sudah diperlihatkan para ibu membersihkan dan mempercantik makam dengan sukacita, agaknya seorang ibu bisa memilih untuk merawat kehidupan di hadapannya ketimbang mengucapkan jawaban. Jadi tidak penting benar bagaimana Almodovar menyulam kisahnya tapi kemesraannya menyelami semua orang yang dikasihinya yang membuat kita merasa hangat setelah menyelesaikan film ini.