Ada film-film tertentu yang tidak pernah kita harapkan lenyap dari rak koleksi tapi keinginan menontonnya lagi hampir tak pernah dibiarkan. Let Him Have It (Peter Medak, 1991) termasuk dalam kelompok itu. Film bagus tapi terlalu pahit untuk dihadapi lagi. Mungkin karena kisahnya kisah nyata maka terbentuklah penolakan untuk “tidak terjadi lagi”, sekalipun itu hanya di layar. Tapi justru karena jangan terjadi lagi itu film ini mestinya jadi tontonan wajib kalangan tertentu. Mahasiswa fakultas hukum wajib disebut pertama. Namun secara umum Let Him Have It relevan bagi anak muda kalangan manapun. Sebab, pertama, meski beda latar dan jaman toh kisahnya soal anak muda juga.
Kedua, tampaknya kebutuhan apresiasi di kalangan muda diyakini sudah sedemikian mendesak sampai ada pihak yang pernah “memaksakan” berbagai buku tentang satu tokoh (tok) ke sekolah-sekolah. Dengan menyepakati urgensi itu seyogyanya arena apresiasi diperluas sampai menyentuh lapisan yang paling gelap dan hati yang paling dasar. Siapa tahu anak-anak muda Indonesia yang waktunya banyak dibebani ajakan nyanyi-nyanyi, nangis-nangis dan gojek-gojek di tv akan tersengat bahwa mereka berpijak di kehidupan yang labil, sekaligus tertampar bahwa pada mereka juga harapan menjadikannya kokoh terletak.
Ingatan pada Let Him Have It muncul setelah bertemu Anton. Dia mahasiswa fakultas hukum. Apa cita-citanya? Ia menyukai pengacara-pengacara yang kerap muncul di tv. “Tapi jadi jaksa kayaknya gampang jadi kaya juga,” selorohnya sambil terbahak. “Belum ada cita-cita, lihat nantilah. Masuk hukum juga karena diterimanya di situ.” Tapi cepat-cepat ditambahkannya ia tidak sendiri, sebagian besar temannya juga melangkah sesederhana dia. “Dijalani dulu …” Itu maksudnya.
“Pernah denger Yap Thiam Hien?”
Anton tertawa sebelum menjawab. Dan kita sudah tahu jawabannya.
“Siapa tuh? Yang punya toko besi?” Tawanya keras. Tapi ia menanyakannya.
“Kamu harus sering nonton film-film hukum,” saran seorang teman. “Biar termotivasi. Banyak film-film courtroom drama .” Disebutkannya A Few Good Men sampai serial Law and Order dan Murder One. “A Few Good Men dululah, paling nggak ada Tom Cruise-nya.”
“Waduh film-film hukum pasti berat. Hidup jadi makin berat.” Dia tertawa keras lagi.
Derek William Bentley seusia Anton pada saat harus menjalani hukuman gantung. Ia remaja lemah, inteligensianya payah, dan mengidap epilepsi. Masa kecil yang serba sulit membuatnya karib dengan kriminalitas. Di usia 15 sudah jadi maling. Bentley sulit mempertahankan pekerjaan karena sakitnya kerap kambuh.
Suatu malam bersama Christopher Craig temannya ia berusaha menjebol gudang konveksi di sudut Croydon, London selatan. Upaya mereka terlihat warga. Tak lama kemudian muncul rombongan polisi. Melalui sembunyi-sembunyian dan kejar-kejaran di celah-celah bangunan bertingkat polisi berhasil mencekal Bentley. Polisi lainnya memburu Craig.
Polisi bernama Sidney Miles akhirnya berhadapan dengan Craig. Miles tidak begitu saja menyergapnya karena Craig ternyata membawa revolver.
“Let him have it, Chris!” teriak Bentley panik.
Dan dar! Miles roboh, tewas seketika karena peluru menghantam kepalanya.
Di pengadilan ucapan Bentley dijadikan masalah utama dan akan menentukan nasibnya. Let him have it, apakah berarti “Serahkan pistol padanya” atau “Tanamkan peluru padanya”?
Chris Craig si penembak dan pembunuh polisi lolos dari jerat hukuman maksimal karena usianya baru 16 tahun. Bentley bersama pembelanya gagal mempertahankan argumentasi dan fakta yang mereka yakini, hingga Bentley yang IQ-nya berkisar 66 dan tidak bisa baca-tulis harus menjalani eksekusi 28 Januari 1953.
Di luar penjara tempat berlangsungnya hukuman teriakan pemrotes tidak surut. Tapi negara juga keukeh merasa benar.
Itulah Let Him Have It yang mestinya ditonton Anton dan teman-temannya. Bukan semata demi turut menjadi “saksi” pahitnya hidup sesama dan gamangnya sistem yang menaungi, tapi lihatlah fakta ini: dua tahun setelah film ini dibuat Bentley memperoleh royal pardon atas hukuman mati yang telah dijalaninya. Dan tahun 1998 vonis Bentley terlibat pembunuhan dibatalkan. Negara akhirnya mengoreksi kesalahannya setelah 45 tahun! Itu tidak terjadi begitu saja tapi jelas melalui pergulatan dan perjalanan terjal yang tidak saja dilakukan kerabat Bentley, tapi juga didaki dengan komitmen penuh dan keyakinan oleh ahli hukum, para simpatisan, sampai penulis, linguis, dan pembuat film.
Pada akhirnya keseluruhan riwayat Bentley memilah mereka yang selalu bekerja dengan angka dan mereka yang tak berangka. Yang pertama jujukannya nominal dan pasal, yang kedua tak ternilai lagi martabatnya.
Jadi gitu, Ton.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar